REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) memandang ketidakpastian global akan tetap tinggi akibat kebijakan tarif impor Amerika Serikat (AS) yang makin meluas.
"Di Amerika Serikat, kebijakan tarif impor berdampak pada laju pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat, di tengah meningkatnya pemberian insentif fiskal. Sementara, laju penurunan inflasi tidak secepat yang diperkirakan," kata Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo dalam konferensi pers "Hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI Bulan Maret 2025" di Jakarta, Rabu (19/3/2025).
Perry melanjutkan ekonomi Eropa, Jepang, dan India juga terkena dampak rambatan kebijakan tarif impor Amerika Serikat tersebut, di tengah permintaan domestiknya yang belum meningkat akibat keyakinan usaha yang rendah dan ekspor yang melambat.
Sementara itu, pelemahan pertumbuhan ekonomi China sebagai akibat kebijakan tarif impor Amerika Serikat tersebut tertahan dengan kebijakan pelebaran defisit fiskal 2025 dari yang ditargetkan. "Dengan perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi dunia pada tahun 2025 diperkirakan sebesar 3,2 persen," kata dia.
Di pasar keuangan global, ketidakpastian masih berlanjut yang diwarnai oleh penurunan imbal hasil (yield) US Treasury dan melemahnya indeks mata uang dolar Amerika Serikat di tengah ketidakpastian penurunan suku bunga AS atau Fed Funds Rate (FFR).
Aliran modal global yang semula terkonsentrasi ke Amerika Serikat bergeser sebagian ke komoditas emas dan obligasi di negara maju dan negara berkembang.
Sementara itu, portofolio investasi saham masih terkonsentrasi ke negara maju kecuali Amerika Serikat dan belum masuk ke negara emerging market. "Tetap tingginya ketidakpastian global tersebut memerlukan respons kebijakan yang tepat dan terkoordinasi dengan baik untuk memperkuat ketahanan eksternal, menjaga stabilitas, dan mendorong pertumbuhan ekonomi domestik," kata Perry.