Rabu 05 Feb 2025 06:48 WIB

'Njelimet' Kebijakan LPG 3 Kg 

Pemerintah berharap dapat menekan beban subsidi LPG 3 kg.

Rep: Eva Rianti / Red: Gita Amanda
Warga antre membeli gas 3 kilogram di Jalan Rajawali, Kota Bandung, Selasa (4/2/2025). Masyarakat beberapa hari terakhir ini kesulitan mendapatkan gas elpiji 3 kg setelah ada aturan yang melarang warung pengecer untuk menjual LPG 3kg.
Foto: Edi Yusuf
Warga antre membeli gas 3 kilogram di Jalan Rajawali, Kota Bandung, Selasa (4/2/2025). Masyarakat beberapa hari terakhir ini kesulitan mendapatkan gas elpiji 3 kg setelah ada aturan yang melarang warung pengecer untuk menjual LPG 3kg.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan pemerintah mengenai pendistribusian LPG 3 kilogram (kg) dihujani banyak kritikan dari masyarakat. Setelah menelurkan kebijakan melarang pengecer menjualnya karena hanya boleh dijual di pangkalan resmi Pertamina, pemerintah merevisi kebijakan tersebut dengan menjadikan pengecer sebagai sub pangkalan.  

Pengamat Ekonomi Yusuf Wibisono mengatakan, kebijakan pemerintah melarang pedagang eceran menjual LPG 3 kg memiliki tujuan utama untuk membatasi pembelian LPG 3 kg oleh pihak yang tidak berhak. Dengan membuat LPG 3 kg yang disubsidi secara signifikan oleh pemerintah hanya tersedia di tingkat agen, pemerintah berharap dapat mengontrol konsumen dan memastikan pembelian LPG 3 kg hanya dilakukan oleh masyarakat yang berhak. Yakni rumah tangga sasaran, usaha mikro sasaran, nelayan sasaran dan petani sasaran.

 

"Dengan membuat konsumsi LPG 3 kg menjadi lebih tepat sasaran, pemerintah berharap dapat menekan beban subsidi LPG 3 kg. Sekitar 68 persen konsumsi LPG 3 kg diperkirakan dinikmati oleh masyarakat kelas menengah atas. Hanya 32 persen dari subsidi LPG 3 kg yang dinikmati masyarakat miskin," kata Yusuf kepada Republika, Selasa (4/2/2025). 

 

Bahkan, kata Yusuf, terdapat tendensi masyarakat kelas menengah atas sengaja beralih dari LPG nonsubsidi ke LPG 3 kg yang disubsidi oleh pemerintah. Sebagai contoh pada 2019 realisasi volume LPG 3 kg mencapai 6,84 juta metrik ton, sedang pada 2022 mencapai 7,80 juta metrik ton. Di waktu yang sama, realisasi volume LPG non-subsidi turun dari 0,66 juta metrik ton pada 2019 menjadi hanya 0,46 juta metrik ton pada 2022. Sehingga dengan kata lain, terdapat konsumen yang semula mengkonsumsi LPG non-subsidi beralih ke LPG 3 kg yang di subsidi.

 

"Karena LPG kita bergantung pada impor maka seiring kenaikan harga komoditas global, maka beban subsidi LPG 3 kg cenderung terus meningkat seiring kenaikan konsumsi. Maka mengendalikan konsumsi LPG 3 kg menjadi krusial bagi pemerintah untuk menekan subsidi LPG 3 kg," jelasnya. 

 

Yusuf mengatakan, berdasarkan data, pada 2016, subsidi LPG 3 kg baru di kisaran Rp 24,9 triliun. Lalu pada 2018, angka subsidi LPG 3 kg meningkat  menjadi Rp 58,1 triliun, dan pada 2022 menembus Rp 100,4 triliun. 

 

photo
Sejarah perjalanan LPG 3 kilogram. - (Infografis Republika)

 

Kebijakan yang tak berkeadilan

 

Melalui upaya pembatasan konsumsi dan pendataan konsumen, pemerintah berupaya menekan beban subsidi LPG 3 kg. Pada tahun 2024, realisasi subsidi LPG 3 kg berhasil ditekan menjadi Rp 80,2 triliun. 

 

"Namun upaya pemerintah mengendalikan konsumsi LPG  3 kg dengan cara melarang penjualan oleh pedagang eceran dan membatasi penjualan hanya oleh agen resmi Pertamina, adalah kebijakan yang sangat tidak berkeadilan, dan juga tidak efisien," jelas Yusuf. 

 

Menurut pandangan Yusuf, hal itu setidaknya untuk dua alasan. Pertama, dengan membuat LPG 3 kg tersedia dan dapat dibeli hanya di agen resmi  Pertamina, maka akses konsumen ke LPG 3 kg kini menjadi sangat terbatas.

 

Jumlah agen LPG di seluruh Indonesia hanya sekitar 260 ribu unit. Jumlah tersebut jauh lebih sedikit dibandingkan pedagang eceran yang selama ini melayani pembelian LPG 3 kg oleh konsumen yang umumnya adalah rumah tangga dan usaha mikro. Warung dan toko kelontong misalnya, yang selama ini menjadi pedagang eceran utama dari LPG 3 kg, diperkirakan berjumlah lebih dari 3,9 juta unit.

 

"Hal ini tentu sangat merugikan konsumen. Kebijakan ini memaksa konsumen LPG 3 kg untuk beralih dari pedagang eceran yang jumlahnya sangat banyak dan mudah diakses dari tempat tinggal konsumen, menjadi  mendatangi agen resmi Pertamina yang jumlahnya terbatas dan jauh dari tempat tinggal konsumen. Konsumen banyak dirugikan dengan biaya mencari lokasi agen penjualan (searching cost)  dan biaya transportasi pulang-pergi ke lokasi agen yang lebih jauh (transaction cost) yang kini menjadi jauh lebih mahal," jelasnya. 

 

Yusuf menyebut, pemerintah memang membuka peluang bagi pedagang eceran untuk mendaftar menjadi agen LPG. Namun menurutnya, hal tersebut tidak mudah direalisasikan oleh para pedagang eceran. 

 

Persyaratan yang ditetapkan Pertamina  untuk menjadi agen dinilai sangat berat dan nyaris mustahil mampu dipenuhi oleh pedagang eceran seperti melampirkan bukti saldo rekening atau deposito minimal Rp 750 juta. Serta menguasai tanah dan bangunan berupa kantor, outlet dan gudang milik sendiri atau sewa dengan luas minimal 165 meter persegi. 

 

"Terkini, setelah ricuh di banyak daerah akibat antrean panjang konsumen di agen Pertamina untuk membeli LPG 3 kg, akhirnya pemerintah mengizinkan kembali pedagang eceran menjual LPG 3 kg," kata dia. 

 

photo
Warga mencari tabung gas elpiji subsidi 3 kilogram di kawasan Palmerah, Jakarta Barat, Selasa (4/2/2025).Salah satu warga menuturkan, kebijakan larangan terkait penjualan gas elpiji subsidi di warung eceran membuat warga kesulitan mencari gas untuk kebutuhannya. Wati (54) mengaku telah mendatangi hampir lima agen penjual tabung gas subsidi di kawasan tersebut dan hasilnya nihil. Ia menuturkan, dampak dari kebijakan tersebut membuat sebagian warga kesulitan untuk menjalankan usaha dan kebutuhan masak sehari-hari. Mengenai hal tersebut, Pemerintah kembali mengizinkan warung pengecer untuk membuka layanan penjualan gas subsidi 3 kilogram yang nantinya akan dijadikan sebagai sub agen. - (Republika/Thoudy Badai)

 

Kedua, kebijakan membatasi penjualan LPG 3 kg di tingkat agen juga berpotensi besar tidak efektif untuk membuat penyaluran LPG 3 kg menjadi lebih tepat sasaran. Penjualan LPG 3 kg hanya di agen resmi, diikuti dengan kewajiban menyerahkan KTP atau KK oleh konsumen. Hal ini bertujuan untuk pencocokan data konsumen dengan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) atau Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE). 

 

"Kebijakan ini terlihat tidak efektif karena konsumen banyak yang tidak mengetahui keharusan menyerahkan KTP, dan agen juga tidak memiliki kapasitas untuk melakukan pencocokan data. Seandainya kebijakan ini dipaksakan, dipastikan akan menghambat konsumen yang tidak membawa KTP atau bahkan tidak memiliki dokumen kependudukan resmi," kata Yusuf. 

 

Apalagi, lanjutnya, ditambah dengan biaya transaksi yang kini jauh lebih tinggi. Hal itu akan mengecilkan hati kelompok miskin yang seharusnya paling berhak atas LPG 3 kg bersubsidi.

 

Seandainya pun berjalan, pembatasan dengan mekanisme tersebut juga dinilai berpotensi tidak efektif karena basis data kemiskinan kita baik DTKS maupun P3KE juga masih banyak bermasalah. "Dengan data DTKS dan juga P3KE yang banyak masalah, maka kita masih menghadapi isu lama, yaitu tingginya angka exclusion error, orang miskin yg berhak namun tidak masuk dalam DTKS, dan angka inclusion error, orang tdk miskin yang tidak berhak namun masuk dalam DTKS," jelasnya. 

 

Yusuf menekankan, upaya pemerintah untuk mentransformasi subsidi  LPG 3 kg dari berbasis komoditas menjadi berbasis penerima manfaat (targeted), by name by address sebenarnya adalah langkah yang perlu diapresiasi untuk menekan ketidaktepatan sasaran subsidi LPG 3 kg. Namun transformasi kebijakan tersebut mengharuskan ketersediaan basis data kemiskinan yang valid dan selalu update. 

 

"Kita harus memastikan bahwa exclusion error mendekati nol, tidak boleh ada orang miskin yang tidak masuk dalam DTKS atau P3KE, sehingga pembatasan LPG 3 kg tidak akan merugikan kelompok miskin. Hal ini sulit dilakukan, dan mahal," tuturnya. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement