REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) M Rizal Taufikurahman, menyoroti dampak kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang diproyeksikan mulai berlaku pada 2025. Ia menyebut, meskipun kebijakan ini berpotensi menambah penerimaan negara hingga Rp 75 triliun, efeknya terhadap ekonomi makro tidak dapat diabaikan.
"Kenaikan PPN ini memang akan memberikan tambahan pendapatan negara yang signifikan, tetapi risiko terhadap inflasi dan daya beli masyarakat harus diwaspadai. Sebagai contoh, pada 2022 ketika PPN naik menjadi 11 persen, inflasi meningkat hingga 0,95 persen dalam satu bulan. Dampak serupa bisa terjadi, bahkan lebih besar," ujar Rizal kepada Republika, Kamis (12/12/2024).
Rizal juga memperingatkan potensi efek crowding out pada konsumsi dan investasi. Menurutnya, daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah, kemungkinan besar akan tertekan. "Hal ini bisa berdampak pada penurunan konsumsi rumah tangga yang merupakan motor utama pertumbuhan ekonomi kita," jelasnya.
Ia juga menekankan pentingnya alokasi yang tepat untuk pendapatan tambahan dari kenaikan PPN. Pendapatan tersebut harus diarahkan untuk mendukung program-program pro-rakyat, seperti subsidi kesehatan, pendidikan, dan pembangunan infrastruktur dasar.
"Ini penting untuk menjaga kepercayaan publik dan memastikan pertumbuhan ekonomi tetap merata," tambah Rizal.