Rabu 27 Nov 2024 10:49 WIB

Tarif PSC Diturunkan 50 Persen, Pengamat: Dampaknya Terbatas ke Harga Tiket Pesawat

Menurutnya, kebijakan penurunan tarif PJP2U harus dilihat lebih holistik.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Ahmad Fikri Noor
Sejumlah calon penumpang antre memasuki pesawat di Terminal Domestik Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Badung, Bali, Sabtu (10/2/2024).
Foto: ANTARA FOTO/Fikri Yusuf
Sejumlah calon penumpang antre memasuki pesawat di Terminal Domestik Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Badung, Bali, Sabtu (10/2/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kementerian Perhubungan (Kemenhub) baru-baru ini mengeluarkan regulasi yang mengatur penurunan tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) untuk Pelayanan Jasa Penumpang Pesawat Udara (PJP2U), atau yang lebih dikenal dengan Passenger Service Charge (PSC), sebesar 50 pereen. Kebijakan ini hanya berlaku pada bandara yang dikelola oleh Kemenhub dan akan diterapkan selama musim libur Natal 2024 dan Tahun Baru 2025.

Keputusan tersebut tertuang dalam Keputusan Dirjen Perhubungan Udara nomor KP 250 DJPU tahun 2024 yang diteken pada 22 November 2024. Meskipun langkah ini mendapat dukungan dari sejumlah pihak, pengamat penerbangan menganggap bahwa penurunan tarif ini tidak akan memberikan dampak signifikan terhadap penurunan harga tiket pesawat, terutama untuk rute-rute utama.

Baca Juga

Menurut Ketua Asosiasi Pengguna Jasa Penerbangan Indonesia (APJAPI) yang juga Pengamat Penerbangan Alvin Lie, meski langkah ini menunjukkan kepedulian pemerintah dalam mendukung sektor penerbangan, dampaknya akan terbatas. Pasalnya, penurunan tarif hanya berlaku di bandara-bandara yang dikelola Kemenhub, yang mayoritas merupakan bandara kecil dengan tarif PJP2U yang relatif rendah, yakni sekitar Rp 50.000 hingga Rp 75.000. Dengan demikian, pengurangan biaya hanya akan berkisar antara Rp 25.000 hingga Rp 37.000 per penumpang dan tidak akan terasa signifikan bagi masyarakat.

"Ini hanya berlaku untuk bandara yang dikelola Kemenhub, dan kebanyakan berada di daerah dengan tarif yang tidak begitu tinggi. Bahkan, jika di bandara besar yang dikelola BUMN seperti Angkasa Pura Indonesia, dampaknya tetap kecil terhadap penurunan harga tiket pesawat," ujar Alvin kepada Republika, Selasa (26/11/2024).

Alvin juga menekankan, meski ada pemangkasan tarif PSC, jika biaya operasional maskapai penerbangan tidak mengalami penurunan, harga tiket pesawat tidak akan beranjak jauh. Menurutnya, penurunan harga tiket yang ditargetkan pemerintah tidak akan tercapai jika hanya mengandalkan kebijakan pemangkasan PSC dan tarif fuel surcharge.

"Saya juga mempertanyakan apakah Angkasa Pura Indonesia sudah setuju untuk pemangkasan ini. Kalau tidak, biaya operasional maskapai tetap tinggi. Maskapai perlu pengurangan biaya operasional agar bisa menurunkan harga tiket," tambahnya.

Pemerintah, melalui Kemenhub, telah memangkas fuel surcharge atau biaya bahan bakar yang diberlakukan sejak kenaikan harga avtur akibat dampak perang Ukraina-Rusia. Namun, Alvin menilai kebijakan tersebut pun belum cukup untuk menurunkan harga tiket pesawat secara signifikan. Sebab, penurunan biaya bahan bakar hanya mengurangi beban yang ditanggung oleh maskapai sedikit demi sedikit, namun tidak cukup untuk menurunkan tarif tiket secara drastis.

Menurutnya, kebijakan penurunan tarif PJP2U harus dilihat lebih holistik, dengan mempertimbangkan biaya operasional dan perawatan bandara yang semakin mahal. Ia menyarankan agar pemerintah mengevaluasi secara lebih mendalam apakah operasi dan perawatan bandara sudah efisien, atau justru menambah beban biaya yang akhirnya ditanggung oleh konsumen.

"Pembangunan bandara yang megah memang penting, namun seharusnya pemerintah juga memperhitungkan aspek biaya operasional dan perawatan. Jangan hanya mengutamakan kemegahan, karena biaya yang tinggi ini pada akhirnya dibebankan kepada konsumen," katanya.

Alvin juga mengingatkan, jika pemerintah ingin menurunkan harga tiket pesawat, perhatian utama harus difokuskan pada pengurangan biaya operasional maskapai penerbangan secara keseluruhan, dan bukan hanya pada sektor pelayanan kebandarudaraan atau biaya bahan bakar. Lebih lanjut, Alvin menyarankan agar pemerintah juga perlu memahami bahwa harga tiket pesawat tidak bisa hanya dilihat dari angka tarif semata.

Faktor psikologis dan daya beli masyarakat turut memengaruhi apakah tiket pesawat dianggap mahal atau murah. Ketika masyarakat membutuhkan transportasi udara dan mampu membayar, harga tiket tidak akan terasa mahal. Sebaliknya, jika harga tiket tinggi namun tidak menjadi kebutuhan mendesak, maka harga tiket akan terasa mahal.

"Pemerintah perlu berpikir lebih jauh, jangan hanya mengandalkan pencitraan untuk menurunkan harga tiket pesawat. Selain itu, harga tiket pesawat juga harus dibandingkan dengan sektor transportasi lainnya, seperti tiket bus dan tarif tol, yang terus mengalami kenaikan," ujar Alvin.

Alvin berharap pemerintah dapat mengubah pendekatan dalam menangani kebijakan harga tiket pesawat dan sektor transportasi udara secara lebih menyeluruh dan berkelanjutan. Penurunan tarif pelayanan kebandarudaraan, penyesuaian biaya bahan bakar, dan pengurangan biaya operasional maskapai merupakan langkah-langkah yang perlu dilakukan secara bersamaan untuk mencapai penurunan harga tiket yang substansial dan berkelanjutan.

Alvin juga menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, pengelola bandara, dan maskapai untuk menciptakan ekosistem penerbangan yang lebih efisien dan berkelanjutan, serta dapat memberikan manfaat nyata bagi masyarakat luas, bukan sekadar solusi jangka pendek yang hanya menggugah publik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement