REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran mengatakan keputusan pemerintah memberlakukan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen pada 1 Januari 2025 kian memberatkan pelaku usaha. Maulana menyampaikan kebijakan tersebut akan semakin memukul sektor hotel dan restoran.
"Permasalahan utama dari dunia usaha saat ini sedang menghadapi kondisi yang benar-benar high cost, istilahnya menjadi high cost economy," ujar Maulana saat dihubungi Republika di Jakarta, Senin (18/11/2024).
Sebelum adanya kenaikan PPN 12 persen, lanjut Maulana, PHRI tengah mengalami persoalan dari sejumlah regulasi pemerintah. Salah satunya terkait banyaknya sertifikasi yang harus harus dipenuhi dengan biaya yang semakin tinggi.
Maulana menyampaikan pemerintah telah memiliki undang-undang cipta kerja guna mendorong efisiensi dari sisi tumpang tindih regulasi. Namun realitanya, lanjut Maulana, regulasi tersebut justru membuat pelaku hotel dan restoran kian terbebani.
"Contohnya sertifikasi halal, di BPJPH-nya biayanya Rp 12,5 juta tapi total biaya sertifikasi halal itu dengan tambah LPH itu bisa mencapai Rp 20 juta sampai Rp 40 juta, mahal," ucap Maulana.
Maulana mengatakan pelaku usaha hotel dan restoran pun wajib memenuhi berbagai sertifikasi dari kementerian dan lembaga. Maulana mengambil contoh pengenaan cukai terhadap makanan dan minuman yang melebihi batas kadar gula dan garam.
"Jadi selain sertifikasi halal, ada juga cukai bagi makanan olahan yang melebih batas kadar gula dan garam. Ini dampaknya pada bisnis kuliner," sambung Maulana.
Maulana mengatakan kebijakan kenaikan PPN 12 persen kontradiktif dengan upaya pemerintah menggenjot sektor pariwisata. Maulana mengingatkan pemerintah terkait peran besar sektor pariwisata terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.
"Ini semua benar-benar merupakan tantangan bagi sektor pariwisata. Perlu diingat, efek bisnis kuliner dan ekonomi kreatif itu penyumbang 41 persen atau sekitar Rp 450 triliun dari PDB," kata Maulana.