REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Ekspor Jepang mengalami penurunan untuk pertama kalinya dalam 10 bulan pada September lalu. Ini menjadi sebuah tanda yang mengkhawatirkan bagi para pembuat kebijakan.
Berdasarkan data yang dirilis pada Kamis (17/10/2024) hari ini menunjukkan lemahnya permintaan global dapat menghambat upaya Bank of Japan (BOJ) untuk keluar dari kebijakan moneter yang sangat longgar. Penurunan ini disebabkan oleh permintaan yang lesu dari China dan pertumbuhan ekonomi AS yang melambat.
"Kemungkinan besar ekspor akan terus menghadapi tantangan dalam beberapa bulan ke depan, terutama dengan ketidakpastian yang mengelilingi ekonomi China," ujar Ekonom dari Daiwa Institute of Research Kazuma Kishikawa dikutip dari Channel News Asia, Kamis (17/10/2024).
Ia menambahkan, stimulus yang diberikan oleh pemerintah China masih belum memberikan dampak yang signifikan. Total ekspor Jepang pada September turun 1,7 persen dibandingkan tahun lalu, dengan angka ini jauh di bawah ekspektasi pasar yang memprediksi kenaikan sebesar 0,5 persen.
Sebelumnya, ekspor Jepang mencatat lonjakan 5,5 persen pada Agustus. Khususnya, ekspor ke China, mitra dagang terbesar Jepang, anjlok 7,3 persen, sementara ekspor ke AS turun 2,4 persen. Penurunan ini sebagian besar dipicu oleh permintaan yang lemah untuk sektor otomotif.
Sementara untuk impor Jepang pada bulan September tumbuh 2,1 persen, meskipun lebih rendah dari ekspektasi kenaikan 3,2 persen. Akibatnya, Jepang mencatat defisit perdagangan sebesar 294,3 miliar yen atau sekitar Rp 35,5 triliun.
Gubernur BOJ Kazuo Ueda dalam komentar terbarunya, menyampaikan, risiko eksternal, termasuk ketidakpastian ekonomi AS, harus diperhatikan. "Kami dapat mengambil waktu untuk menganalisis risiko-risiko ini sebelum mengambil keputusan mengenai kenaikan suku bunga berikutnya," ujarnya.
Meskipun BOJ diharapkan untuk mempertahankan suku bunga pada pertemuan yang akan datang pada 30-31 Oktober, mereka tetap optimis inflasi akan berada di sekitar target 2 persen hingga Maret 2027. Kendati demikian, survei kuartalan dari bank sentral menunjukkan bahwa dampak dari melambatnya ekonomi global belum sepenuhnya dirasakan oleh para produsen. Suasana bisnis masih tetap positif, dan banyak perusahaan tetap mempertahankan rencana belanja yang kuat.