REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nilai tukar rupiah diproyeksikan tergelincir pada perdagangan awal pekan depan, Senin (7/10/2024). Pergerakan mata uang Garuda diprediksi mencapai Rp 15.500 per dolar AS, terimbas prospek suku bunga The Fed, serta deflasi dalam negeri yang terjadi selama berbulan-bulan.
“Untuk perdagangan Senin depan (7/10), mata uang rupiah fluktuatif namun ditutup melemah di rentang Rp 15.470—Rp 15.580 per dolar AS,” kata Pengamat mata uang yang juga Direktur Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi dalam keterangannya, dikutip Ahad (6/10/2024).
Pada perdagangan akhir pekan ini, Jumat (4/10/2024), rupiah ditutup melemah 56,6 poin di level Rp 15.485 per dolar AS, sebelumnya sempat melemah 80 poin di level Rp 15.428,5 per dolar AS.
Ibrahim menerangkan, ada sejumlah sentimen yang memengaruhi pelemahan rupiah, baik sentimen eksternal maupun internal. Dari sisi sentimen eksternal, fokus investor tertuju pada laporan utama penggajian nonpertanian AS yang memberikan petunjuk lebih lanjut tentang prospek suku bunga Federal Reserve, serta meningkatnya ketegangan di Timur Tengah membuat pasar gelisah.
Ia menjelaskan, serangkaian rilis data minggu ini menunjukkan bahwa ekonomi AS masih dalam kondisi solid, setelah aktivitas sektor jasa negara itu melonjak ke level tertinggi 1-1/2 tahun pada September, di tengah pertumbuhan yang kuat dalam pesanan baru. Sementara laporan terpisah dari Departemen Tenaga Kerja pada Kamis menunjukkan pasar tenaga kerja meluncur pada akhir kuartal ketiga.
“Hal ini membuat para pedagang mengurangi taruhan tentang pemotongan suku bunga 50 basis poin lagi oleh Fed bulan depan, dengan kontrak berjangka menunjukkan peluang hanya 35 persen dari skenario seperti itu,” ujar dia.
Kemudian soal sentimen ketegangan di Timur Tengah. Ibrahim menuturkan, paska serangan Iran ke Israel sebelumnya, AS sedang mendiskusikan apakah akan mendukung serangan Israel terhadap fasilitas minyak Iran sebagai balasan atas serangan rudal Teheran terhadap Israel. Sementara militer Israel menyerang Beirut dengan serangan udara baru dalam pertempurannya melawan kelompok bersenjata Lebanon, Hizbullah.
Sementara itu, sentimen internal yang menyebabkan merosotnya rupiah, diantaranya karena data deflasi yang terjadi selama lima bulan berturut-turut sejak Mei 2024. “Pasar terus mengamati deflasi yang terjadi selama lima bulan berturut-turut sejak Mei hingga September 2024 memperlihatkan dengan jelas masyarakat kelasmenegah (pekerja) sudah tidak punya uang lagi untuk berbelanja,” kata dia.
Oleh karena itu, lanjutnya, permintaan Bank Indonesia agar masyarakat lebih banyak belanja untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen mustahil terwujud. Pasalnya, hampir semua sektor industri melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), yang bakal berimbas pada anjloknya daya beli.
Menurut catatan Kementerian Ketenagakerjaan, 53.993 tenaga kerja terkena PHK per 1 Oktober 2024. Ribuan orang yang di-PHK itu sebagian besar berasal dari sektor manufaktur, dengan angka PHK terbesar ada di Jawa Tengah, Banten, dan Jakarta.
“Dan dipredikisi sampai akhir tahun angka PHK akan melonjak lebih dari 75 ribu. Pasalnya, mulai banyak perusahaan dinyatakan pailit atau akhirnya pindah ke daerah lain yang upah minimumnya lebih kecil,” tuturnya.
Di samping itu, Ibrahim mengatakan terjadi kondisi minimnya lapangan kerja di sektor padat karya. Di tengah membludaknya PHK, pembukaan lapangan pekerjaan baru di sektor padat karya dalam lima tahun terakhir juga nyaris tidak ada. Padahal sektor ini menjadi andalan untuk menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar sehingga diharapkan bisa melahirkan apa yang disebutnya sebagai warga kelas menengah.
“Namun data BPS terakhir menunjukkan 9,48 juta warga kelas menengah Indonesia justru turun kelas dalam lima tahun terakhir, menjadi hanya 47,85 juta. Situasi tersebut tak lepas dari kebijakan pemerintah yang lebih menggenjot investasi di sektor padat modal seperi tambang ketimbang padat karya yang membuka lapangan kerja baru,” jelasnya.
Sementara itu, Ibrahim melanjutnya mengenai kondisi tingginya suku bunga. Menurut penuturannya, Bank Indonesia memang akhirnya telah memangkas suku bunga acuan pada September 2024 menjadi 6 persen dari sebelumnya 6,25 persen, demi menjaga penguatan atau stabilitas nilai tukar rupiah.
“Namun uang yang beredar di masyarakat jadi lebih mahal dan bukan berarti bisa ‘mengurangi lonjakan deflasi’ di bulan-bulan mendatang. Sebab, PHK massal dan tak adanya lapangan kerja baru belum sepenuhnya teratasi. Konsekuensinya, daya beli masyarakat juga belum akan membaik,” terangnya.