Kamis 03 Oct 2024 16:56 WIB

Deflasi Lima Bulan Beruntun, Ekonom: Mirip Kondisi Krisis

Faisal menjelaskan deflasi lima bulan beruntun bukan merupakan hal normal.

Rep: Muhammad Nursyamsi/ Red: Ahmad Fikri Noor
Sejumlah warga membawa beras SPHP usai dibagikan gratis di Pasar Karang Ayu, Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (8/6/2024).
Foto: ANTARA FOTO/Makna Zaezar
Sejumlah warga membawa beras SPHP usai dibagikan gratis di Pasar Karang Ayu, Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (8/6/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menilai deflasi yang terjadi selama lima bulan berturut-turut di Indonesia adalah pertanda serius bagi perekonomian nasional. Faisal menilai kondisi ini tidak normal dan mengindikasikan adanya masalah mendasar dalam perekonomian.

"Deflasi lima bulan berturut-turut itu mengkhawatirkan menurut saya," ujar Faisal saat dihubungi Republika di Jakarta, Kamis (3/10/2024).

Baca Juga

Faisal menjelaskan deflasi lima bulan beruntun bukan merupakan hal normal yang terjadi di negara dengan pertumbuhan ekonomi sekitar lima persen. Faisal menyampaikan pertumbuhan ekonomi sekitar lima persen biasanya diikuti oleh inflasi rendah dan inflasi yang disebabkan kemampuan untuk mengendalikan harga-harga.

"Bukan inflasi disebabkan karena kelemahan permintaan, tapi yang terjadi sekarang bukan inflasi yang rendah, justru malah deflasi selama lima bulan berturut-turut dan ini menyerupai kondisi krisis," ucap Faisal.

Faisal menilai pemerintah harus lebih serius mengatasi persoalan deflasi beruntun tersebut. Hal ini bertujuan untuk menghindarkan Indonesia dari ancaman krisis.

"Ada kemungkinan 2024 ini inflasinya bisa di bawah dua persen seperti masa krisis pandemi 2020-2021, yang inflasinya di kisaran 1,5 persen sampai 1,8 persen sepanjang tahun," lanjut Faisal.

Faisal menyampaikan deflasi sendiri merupakan dampak dari lemahnya tingkat permintaan, tingkat konsumsi yang disebabkan tingkat pertumbuhan pendapatan yang lemah. Bahkan, lanjut Faisal, tingkat pendapatan masyarakat mengalami penurunan dibandingkan masa sebelum pandemi.

"Sebagian orang, termasuk banyak kelas menengah yang tadinya bekerja sebelum pandemi itu banyak yang belum bisa bekerja, tidak punya pekerjaan, dan ini mempengaruhi dari tingkat belanja mereka," sambung Faisal.

Faisal menyampaikan kelas menengah selama ini menjadi tumpuan perekonomian Indonesia. Faisal mengatakan kelas menengah menjadi kontributor terbesar dalam konsumsi nasional yang menggerakkan perekonomian, industri manufaktur, dan sektor jasa.

"Tapi kalau konsumsi kelas menengahnya lemah, ini yang membuat ekonomi itu jadi susah bergerak dan efeknya juga ke mana-mana, ke sektor-sektor yang lain," ucap Faisal.

Untuk mengatasi masalah tersebut, Faisal mendorong pemerintah untuk mengambil langkah-langkah yang lebih cepat. Faisal menekankan pentingnya kebijakan fiskal dan insentif di sektor riil untuk mendorong konsumsi masyarakat dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

"Perlunya menyikapi secara cepat kondisi ini. Insentif bukan hanya dalam hal pelonggaran moneter, tetapi juga kebijakan insentif di fiskal dan di sektor riil," kata Faisal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement