Senin 16 Sep 2024 13:27 WIB

Utang Negara, Beban Masa Depan yang Harus Diwaspadai

Jika kebijakan utang yang sama terus berlanjut, Indonesia berpotensi alami krisis.

Pernyataan Prof Didik J Rachbini mengenai utang negara Indonesia telah menyoroti sebuah masalah krusial yang perlu mendapat perhatian serius. (ilustrasi)
Foto: Haura Hafizhah
Pernyataan Prof Didik J Rachbini mengenai utang negara Indonesia telah menyoroti sebuah masalah krusial yang perlu mendapat perhatian serius. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pernyataan Prof Didik J Rachbini mengenai utang negara Indonesia telah menyoroti sebuah masalah krusial yang perlu mendapat perhatian serius. Prof Didik menggarisbawahi perbedaan mendasar antara utang pribadi dan utang negara, serta dampak signifikan dari keputusan utang negara terhadap seluruh lapisan masyarakat. 

Menurut Prof Didik, utang negara berbeda dengan utang privat milik warga negara. Tapi jika satu institusi, satu lembaga, satu aturan main, satu regulasi yang ada dalam negara, itu adalah satu tanggung jawab yang berbeda satu sama lain. "Jika warga negera secara privat mengambil utang dengan keputusannya sendiri, mau banyak, mau sedikit, mau kenceng, mau lambat, itu tidak ada kaitan dengan siapapun. Karena itu domain pribadi," katanya.

Tetapi utang negara, satu kali keputusan mengambil utang sedemikian besar, maka karena harus membayar cicilan utang dan pokok yang pasti semakin besar, dampaknya anggaran pendidikan berkurang, anggaran untuk daerah berkurang. Oleh karenanya seluruh keputusan yang dilakukan oleh pejabat negara soal utang ini akan berpengaruh ke kanan ke kiri.

Dari pengambilan keputusan di domain publik itu, kata Prof Didik, seharusnya menyertakan secara demokratis pihak-pihak yang terkait di dalam utang tersebut, pembayar pajak, masyarakat, demokrasi, dan sebagainya. Dan di dalam proses demokrasi sistem yang dijalankan harus ada check and balance.

"Selama ini tidak ada seorangpun di lembaga, DPR, Parlemen yang menjaga dengan check and balance pengambilan keputusan-keputusan itu. Sehingga saat ini utang kita bisa mencapai hampir Rp 10 ribu triliun. Dan dampaknya untuk bayar bunga saja sudah sedemikian besar setiap tahun," katanya.

Sementara itu, pemerintahan baru Pabowo, pasti akan mewarisi utang itu. "Kalau nanti berutang lagi, dengan menjalankan kebijakan yang sama dengan Jokowi, maka seperti yang dikatakan Almarhum Faisal Basri, Insyaallah kita akan krisis. Akan lebih dalam krisisnya," ujar Prof Didik.

Prof Didik menambahkan jika Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan dan lain-lain menyebut rasio utang kita terhadap PDB belum 100 persen, maka kalau dibandingkan dengan Jepang meskipun utang Jepang 100 persen tapi kalau bunganya 0,7-0,9 persen, maka pembayaran bunganya saja akan kecil. Jepang punya utang Rp 500 triliun hanya membayar Rp 30 triliun per tahun. Sedangkan Indonesia, dengan utang Rp 8.500 triliun maka harus membayar Rp 500 triliun per tahun bunganya saja.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement