REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembicaraan mengenai penyaluran BBM Subsidi, marak terdengar selama beberapa pekan ini. Sejumlah menteri, termasuk Presiden Joko Widodo membahas hal itu.
Teranyar, beredar kabar pemerintah bakal menerapkan aturan baru terkait BBM bersubsidi pada 1 September 2024. Deputi bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi, Kemenko Maritim dan Investasi (Marves) Rachmat Kaimuddin mengatakan aturan baru tersebut masih dalam proses finalisasi. Setelah semua proses ini selesai dilakukan, kebijakan akan diumumkan.
Direktur Eksekutif Center for Energy Security Studies (CESS) Ali Ahmudi Achyak mengatakan penyediaan kebutuhan rakyat yang terjangkau (termasuk BBM) merupakan kewajiban pemerintah sebagai kewajiban konstitusional (UUD 1945 Pasal 33). Pemberian subsidi kepada masyarakat kurang mampu itu menjadi tugas pemerintah untuk menyejahterakan rakyatnya. Hal itu menuntut kecakapan negara untuk mengatur anggaran secara adil, merata, berkeadilan dan berkesinambungan. BBM bersubsidi adalah kebutuhan primer masyarakat yang harus dipenuhi oleh pemerintah.
"Hal yang harus dipikirkan secara mendalam adalah bagaimana proses distribusi BBM bersubsidi bisa berjalan dengan baik, merata, berkeadilan dan berkesinambungan," kata Ali Ahmudi, kepada Republika, pada akhir pekan lalu, ditulis pada Selasa (6/8/2024).
Ia menerangkan, ada beberapa rekomendasi untuk pemerintah dari CESS terkait distribusi BBM bersubsidi. Pertama, perlu ditetapkan secara jelas dan tegas terkait kuota BBM bersubsidi berdasarkan data valid terkait jumlah masyarakat yang berhak menerima subsidi. Kedua, perlu dirancang, direalisasikan dan dikontrol secara ketat proses distribusi BBM bersubsidi agar tepat sasaran dan sesuai dengan batas quota yang sudah ditetapkan. Ketiga, pemerintah perlu membangun sistem distribusi BBM bersubsidi berbasis kewilayahan (spasial) agar optimal dan menghindari potensi kebocoran dan salah sasaran dalam distribusi BBM. Keempat, masyarakat perlu mendapatkan edukasi terkait pemanfaatan BBM secara efektif dan efisien. Kelima, dalam jangka panjang perlu bauran energi (energy mix) yang lebih variatif sebagai bagian proses transisi energi menuju terwujudnya ketahanan energi nasional.
Ali menilai secara keseluruhan, wacana kenaikan harga BBM secara logis berbanding lurus dengan kenaikan harga minyak mentah (crude oil) dunia yang sudah terjadi beberapa waktu belakangan ini. Pemerintah sepertinya masih menahan diri dan enggan mengambil risiko politik dan gejolak sosial akibat kenaikan harga BBM yang berpotensi memicu inflasi dan menggoyang ketahanan ekonomi masyarakat.
Untuk BBM non-subsidi, pendekatan harga berbasis mekanisme pasar merupakan sebuah keniscayaan yang tak bisa dihindari. Harga crude oil (sebagai komponen penentu utama harga BBM) yang volatile tentu akan diikuti pula volatilitas harga BBM non-subsidi.
"Untuk BBM bersubsidi, tentu pendekatannya harus berbeda," ujar Direktur Eksekutif CESS ini.
Seperti sudah disinggung di atas, pemerintah wajib memberikan subsidi kepada masyarakat sesuai amanat konstitusi. Penyalurannya harus dipastikan berjalan akurat, dan tepat sasaran.