REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan bahwa suku bunga acuan BI atau BI-Rate belum bisa diturunkan atau tetap ditahan di level 6,25 persen mengingat bank sentral RI ini harus fokus untuk memitigasi risiko global. Padahal, kata Perry, BI-Rate semestinya turun karena sejalan dengan proyeksi inflasi ke depan. Dia mengatakan bahwa inflasi pada tahun ini dan tahun depan diperkirakan tetap rendah atau masih dalam target kisaran 2,5 persen plus minus 1 persen.
“Karena inflasi inti rendah dan kemungkinan ke depan juga rendah, mestinya BI-Rate itu turun. Cuma memang belum bisa turun karena kami harus fokus memitigasi risiko global,” kata Perry saat konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) III 2024 di Jakarta, Jumat (2/8/2024).
Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) Juni 2024 tercatat 2,51 persen yoy, sejalan dengan rendahnya inflasi inti dan inflasi administered prices (AP) yang masing-masing sebesar 1,90 persen yoy dan 1,68 persen yoy
Pada periode yang sama, inflasi volatile food (VF) turun cukup dalam di sebagian besar wilayah Indonesia sehingga tercatat sebesar 5,96 persen yoy, lebih rendah dari inflasi bulan sebelumnya.
Terbaru, inflasi IHK Juli 2024 turun menjadi 2,13 persen yoy, ditopang oleh inflasi VF dan AP yang turun menjadi 3,63 persen yoy dan 1,47 persen yoy. Adapun inflasi inti sedikit meningkat menjadi 1,95 persen yoy.
Perry mengatakan, inflasi inti yang bergerak naik menandakan adanya kenaikan permintaan namun kapasitas produksi nasional masih mencukupi. Dia juga memperkirakan inflasi inti ke depannya kemungkinan tetap rendah dan seharusnya BI-Rate bisa turun. Namun, BI harus memastikan risiko global terkendali terlebih dahulu sebelum memutuskan pemangkasan suku bunga.
“Untuk memitigasi risiko global, makanya kami kemarin fokus kepada foreign exchange intervensi, baik spot maupun valas, dan jumlah cadangan devisa kami cukup. Tapi kan tidak bisa terus-terusan hanya dengan intervensi valas, sehingga kami koordinasi dengan Menteri Keuangan, yaitu SRBI dan SBN,” jelas Perry.
Dia menambahkan bahwa kebijakan APBN memang belum diperlukan untuk menaikkan penjualan atau lelang Surat Berharga Negara (SBN). Oleh sebab itu, BI mendorong Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) agar dapat membantu stabilitas nilai tukar.
“Sehingga kenapa suku bunga SRBI-nya lebih tinggi dari SBN, karena memang (suku bunga) US Treasury Notes 2 tahun lebih tinggi dari US Treasury Bonds, dan juga untuk menghindari tekanan nilai tukar sehingga kami menjual lebih banyak SRBI. Suku bunga SRBI-nya lebih tinggi karena suku bunga US Treasury Notes-nya lebih tinggi dan supaya tidak terjadi capital outflow,” jelas dia.
Perry menyampaikan, pada triwulan I 2024, tercatat aliran modal asing masuk (inflow) ke SRBI sebesar Rp1,29 miliar dolar AS. Pada periode yang sama, aliran modal asing keluar (outflow) dari SBN tercatat Rp1,82 miliar dolar AS.
Inflow ke SRBI selanjutnya meningkat pada triwulan II 2024 menjadi Rp6,8 miliar dolar AS. Oleh sebab itu, menurut Perry, SRBI dinilai dapat membantu stabilitas nilai tukar rupiah.
Perry memperkirakan, suku bunga SBN akan lebih tinggi dari SRBI pada triwulan I 2025 atau dengan kata lain suku bunga SRBI akan lebih rendah. Adapun penerbitan antara SRBI dan SBN, kata Perry, akan selalu dikoordinasikan dengan Kementerian Keuangan.
“Jadi ini memang koordinasi yang sangat erat antara penerbitan SRBI dengan SBN. Tidak hanya setiap tahun, setiap triwulan, minggu by minggu, antara Bank Indonesia dengan Kementerian Keuangan itu selalu berkoordinasi,” kata Perry.