Senin 01 Jul 2024 19:29 WIB

Cukai Minuman Berpemanis Bakal Diterapkan, Ini Dampaknya Menurut Kemenperin

Potensi kenaikan harga produk mencapai 6-15 persen.

Ilustrasi minuman berpemanis dalam kemasan.
Foto: www.freepik.com
Ilustrasi minuman berpemanis dalam kemasan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengatakan penerapan cukai pada produk minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) dinilai berdampak tak baik pada industri kecil menengah (IKM) dalam negeri, karena bisa menaikkan harga produk, serta mengurangi pendapatan pedagang kecil.

"Kami juga sudah melakukan sedikit analisis, untuk elastisitas harga kalau kita menaikkan atau mengenakan cukai kepada minuman berpemanis dalam kemasan. Jadi dampak ke industrinya, terutama ke UMKM dan industri kecil menengah (IKM), ini cukup berdampak," kata Direktur Jenderal Industri Agro Putu Juli Ardika dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IX DPR RI di Jakarta, Senin (1/7/2024).

Baca Juga

Analisa harga yang dilakukan pihaknya menyatakan jika cukai diterapkan sebesar Rp1.771 per liter, maka potensi kenaikan harga produk mencapai 6-15 persen. Menurut dia 60-70 persen penjualan produk minuman dilakukan melalui saluran pasar tradisional, seperti pedagang kecil dan warung.

"Sementara dampak untuk industri besar, ini akan bisa dengan cepat melakukan adaptasi," kata dia.

Lebih lanjut, dirinya menyampaikan penerapan cukai MBDK dinilai kurang efektif untuk menurunkan obesitas, mengingat beberapa negara sudah menerapkan regulasi ini. Seperti halnya Meksiko yang sudah menerapkan sugar tax pada tahun 2014 namun proporsi masyarakat yang menderita obesitas terus meningkat sejak tahun 2017.

Dalam paparannya Putu menyampaikan usulan pengenaan cukai MBDK seperti yang disampaikan Kementerian Keuangan berdasarkan kandungan pemanis dengan sistem tarif spesifik. Cukai tersebut berlaku untuk minuman manis kemasan yang mengandung gula lebih dari 6 gram per 100 mililiter, serta MBDK yang mengandung bahan tambahan pangan (BTP) pemanis dalam kadar berapapun.

Meski demikian, menurut dia Kemenperin sudah mengikuti aturan standar nasional Indonesia (SNI) yang disusun berdasarkan keterpenuhan gizi dari ketentuan yang dikeluarkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) maupun Kementerian Kesehatan.

"Jadi SNI ini mensyaratkan kandungan gizi dan apa yang sebaiknya disyaratkan dalam peraturan pangan tersebut," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement