REPUBLIKA.CO.ID, BATAM -- Kementerian Keuangan melaporkan realisasi APBN 2024 hingga akhir Mei mengalami defisit dengan penerimaan negara merosot 7,1 persen. Menanggapi hal itu, pengamat menilai hal yang wajar di tengah kondisi ketidakpastian global.
"Penurunan itu biasa terjadi ketika perekonomian melambat, tentunya penerimaan pajak turun, tetapi yang utama adalah penyesuaian pengeluaran," kata Pengamat Ekonomi Piter Abdullah saat dihubungi Republika, Jumat (28/6/2024).
Peter menuturkan bahwa kondisi penerimaan negara yang naik ataupun turun memiliki siklus. Jika sebelumnya pada beberapa tahun lalu, penurunan pendapatan negara disebabkan oleh kondisi pandemi Covid-19, kali ini diterjang oleh kondisi ekonomi global.
"Ketika perekonomian kita mulai berangsur pulih setelah pandemi penerimaan pajak kita kan naik. Nah sekarang perekonomian kita terhantam lagi oleh kondisi global otomatis penerimaan pajak akan turun. Jadi kita harus memahami juga perekonomian itu ada siklus jadi ketika kita mengalami siklus seperti ini," tuturnya.
Piter mengatakan, dengan terjadinya defisit anggaran serta pendapatan negara yang menurun, pemerintah semestinya mampu bijak dalam mengelola pengeluaran. Yakni mengenai realokasi yang perlu dilakukan sesuai dengan kepentingan.
"Menurut saya, pemerintah tidak akan membiarkan defisitnya melebar melebihi dari batas yang sudah ditentukan oleh Undang-Undang yaitu 3 persen dari PDB. Jadi kita nggak perlu khawatir sebenarnya dengan apakah pemerintah akan membiarkan melebar sampai berapa persen karena sudah dibatasi dengan UU," terangnya.
Kendati demikian, Piter meminta agar pemerintah memiliki langkah jitu tersendiri dalam menghadapi kondisi perekonomian yang sedang sulit. Sehingga tidak melulu berpengaruh atas kondisi ketidakpastian global.
"Pemerintah harus punya terobosan yang utama adalah di tengah kondisi ekonomi global sekarang ini pemerintah harus fokus bagaimana menjaga perekonomian domestik itu bisa bangkit, bisa meminimalkan dampak global terhadap ekonomi domestik, jangan bergantung pada perekonomian global," tuturnya.
Sebelumnya diberitakan, Pemerintah mencatatkan realisasi APBN 2024 masuk di zona defisit. Hingga akhir Mei 2024 pendapatan negara dari pajak, bea cukai, PNBP serta hibah turun hingga 7,1 persen yakni Rp 1.123,5 triliun. Pendapatan ini telah mencapai 40,1 persen dari target APBN tahun ini.
Sri Mulyani mengatakan, turunnya penerimaan itu memang masih dipicu oleh merosotnya berbagai harga-harga komoditas. Menyebabkan setoran penerimaan perpajakan, dan penerimaan negara bukan pajak atau PNBP ikut merosot.
"Seperti diingat tahun 2023 dan 2022 di mana kenaikan harga terutama pada 2022 dari komoditas itu luar biasa sehingga membukukan penerimaan pajak PNBP tinggi. Ini sesuatu yang perlu kita monitor dan waspada," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rilis APBN Kita yang diikuti secara daring Kamis (27/6/2024).
Berdasarkan data Kemenkeu, hingga Mei 2024 belanja negara telah mencapai Rp 1145,3 triliun. Sehingga, pemerintah telah belanja dari seluruh total belanja yaitu 34,4 persen dari total pagu yang ada di APBN. Angka ini pun 14 persen lebih tinggi (yoy).
"Posisi APBN hingga akhir Mei adalah keseimbangan primer masih membukukan positif atau surplus Rp 184,2 triliun, namun total anggaran kita membukukan defisit Rp 21,8 triliun atau 0,10 persen dari produk domestik bruto karena defisit biasanya diukur dari sisi persentase terhadap PDB," ujarnya.
Adapun rincian dari setoran penerimaan negara itu yang anjlok terdiri dari untuk penerimaan pajak dari 8,4 persen di Mei 2023 sebesar Rp 830,5 triliun menjadi Rp 760,4 triliun di tahun ini. Kemudian, target pajak tahun ini yang dipatok sebesar Rp 1.988,9 triliun baru terealisasi 36,2 persen.
Dari penerimaan kepabeanan dan cukai pun baru Rp 109,1 triliun. Angka ini turun 7,8 perse dibanding Mei 2023 yakni sebesar Rp 118,4 triliun. Adapun target tahun in adalah sebesar Rp 321 triliun dan baru terealisasi 34 persen.
Sementara untuk penerimaan negara bukan pajak atau PNBP baru terealisasi Rp 251,4 triliun atau turun 3,3 persen dari realisasi Mei 2023 yakni Rp 260 triliun. Adapun target tahun ini yang sebesar Rp 492 triliun sudah terealisasi sebesar 51,1 persen.