Selasa 09 Apr 2024 14:15 WIB

Pakar: Indonesia Terancam Twin Deficit Karena Ketidakpastian Suku Bunga Global

Investor dan traders cenderung kembali memindahkan portofolionya ke safe-haven asset.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Lida Puspaningtyas
Sejumlah Gubernur Bank Sentral negara ASEAN.
Foto: EPA-EFE/BAGUS INDAHONO
Sejumlah Gubernur Bank Sentral negara ASEAN.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketidakpastian terkait arah suku bunga global meningkat pada beberapa minggu terakhir. Bank-bank sentral utama dunia cenderung divergent dalam menentukan arah kebijakan moneternya.

Chief Economist PermataBank Josua Pardede mengatakan, perkembangan kondisi suku bunga global yang cenderung divergent membuat sentimen risk-off di pasar negara berkembang, termasuk Indonesia, kembali meningkat. Hal ini terlihat terutama pada pasar obligasi Indonesia yang sudah mencatatkan net outflow secara year-to-date. 

Baca Juga

"Banyak investor dan traders cenderung kembali memindahkan portofolionya ke safe-haven assets sehingga memicu capital outflow dari pasar keuangan negara berkembang dan mendorong pelemahan mata uang Asia termasuk Rupiah," ujarnya dalam keterangan yang diterima Republika dikutip Selasa (9/4/2024).

Indonesia juga dihadapkan dengan risiko kembalinya twin deficit atau kondisi di mana ekonomi mencatatkan pelebaran defisit neraca transaksi berjalan dan defisit fiskal. Data terakhir menunjukkan bahwa surplus neraca dagang Indonesia terus menyusut, sejalan dengan berlanjutnya normalisasi harga komoditas dan kondisi ekonomi Cina, mitra dagang utama Indonesia, yang cenderung terus melemah.

"Hal ini meningkatkan risiko pelebaran defisit pada neraca transaksi berjalan pada tahun ini," kata Josua.

Dari sisi fiskal, juga terjadi ketidakpastian terkait dengan program-program pemerintahan baru ke depan yang mana banyak pihak menilai cukup agresif sehingga dapat mendorong peningkatan belanja negara cukup signifikan. Di sisi lain, penerimaan negara cenderung menurun sejalan dengan normalisasi harga komoditas. 

Data terkini menunjukkan bahwa APBN masih mencatatkan surplus, namun jika dibandingkan dengan posisi periode yang sama tahun lalu, surplus cenderung menurun. Hal ini memberi kekhawatiran terkait pembiayaan APBN ke depan sehingga memberikan sentimen negatif pada pasar obligasi Indonesia. 

Tercatat bahwa kepemilikan asing di Surat Berharga Negara (SBN) terus menurun dari awal tahun. Tantangan-tantangan tersebut, baik yang bersumber dari sisi eksternal maupun domestik, akan mempengaruhi keputusan Bank Indonesia (BI) dalam menentukan timing dan besar pemotongan BI-rate ke depan. 

"Dalam jangka pendek, ditambah dengan risiko inflasi yang meningkat terutama dari sisi harga pangan, akan membuat Bank Indonesia cenderung akan mempertahankan BI-rate pada level saat ini. Ruang pemotongan kemungkinan terjadi pada paruh kedua tahun ini," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement