Rabu 28 Feb 2024 07:12 WIB

Bappebti Sebut Pajak Kripto Pengaruhi Nilai Transaksi Dalam Negeri

Banyak nasabah yang pada akhirnya memilih transaksi di exchange luar negeri.

Sebuah iklan untuk cryptocurrency Bitcoin ditampilkan di sebuah jalan di Hong Kong, pada 17 Februari 2022.
Foto: AP/Kin Cheung
Sebuah iklan untuk cryptocurrency Bitcoin ditampilkan di sebuah jalan di Hong Kong, pada 17 Februari 2022.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Biro Pembinaan dan Pengembangan Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Tirta Karma Sanjaya menilai bahwa pajak terhadap aset kripto turut berdampak terhadap nilai transaksi kripto di dalam negeri.

Pasalnya, dengan penetapan pajak pertambahan nilai (PPn) dan pajak penghasilan (PPh) terhadap transaksi kripto, mengakibatkan banyak para nasabah yang bertransaksi kripto di luar negeri.

Baca Juga

“Dengan pengenaan pajak sebesar saat ini menambah biaya bagi para nasabah. Banyak nasabah yang transaksi di exchange luar negeri,” kata Tirta dalam acara Talk Show tentang Ekosistem Kripto oleh Indodax di Jakarta, Selasa (27/2/2024).

Sebelumnya, pemerintah resmi menetapkan pajak untuk aset kripto melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Republik Indonesia Nomor 68/PMK.03/2022 yang berlaku sejak 1 Mei 2022.

PMK tersebut mengatur tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) atas transaksi perdagangan aset kripto.

Tirta menilai, pengenaan pajak terhadap aset kripto perlu dievaluasi ulang mengingat industri kripto di Indonesia saat ini masih tergolong baru. Menurutnya, industri yang masih baru tersebut seharusnya diberi ruang untuk bertumbuh.

“Kalau dikenakan (pajak) langsung besar, industri kripto Indonesia masih embrio. Secara keseluruhan industri kripto masih baru. Industri yang masih baru perlu diberi ruang untuk bertumbuh,” ujarnya.

Oleh karena itu, bertepatan dengan proses peralihan pengawasan aset kripto dari Bappebti ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) saat ini, diharapkan juga menjadi momentum evaluasi untuk aturan pajak aset kripto.

“Biasanya pajak ada evaluasi kalau pajak aset kripto tidak direduksi, setidaknya pengenaannya tidak PPh dan PPn. Kami bersama asosiasi siap berkoordinasi dengan Dirjen Pajak,” terang Tirta.

Kendati demikian, menurutnya pengenaan pajak untuk aset kripto telah memberikan kontribusi besar pada penerimaan negara. Bahkan pajak aset kriptotelah melampaui 50 persen dari pajak fintech.

Sebelumnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat hingga akhir Januari 2024, realisasi pendapatan negara dari pajak kripto telah mencapai Rp 39,13 miliar.

Rp 18,2 miliar di antaranya berasal dari pajak penghasilan (PPh) pasal 22, kemudian sebesar Rp 20 miliar berasal dari pajak pertambahan nilai (PPn) atas transaksi kripto.

Pada kesempatan yang sama, dari sisi pelaku industri, Direktur Utama Indodax Oscar Darmawan berharap bahwa pajak PPn terhadap aset kripto dapat dievaluasi ulang, dan hanya menerapkan PPh sepertihalnya transaksi di pasar saham.

“Perkembangan regulasi semakin baik di Indonesia dengan adanya pajak kripto baik PPh dan PPn, tetapi dengan tidak adanya PPn, itu lebih baik,” pungkasnya.

sumber : ANTARA
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement