Rabu 17 Jan 2024 18:11 WIB

Pengamat: Praktik Pajak Biasanya Merujuk Batas Atas Tarif, Termasuk Hiburan

Porsi penerimaan pajak hiburan terhadap total PAD secara rata-rata nasional rendah.

Rep: Muhammad Nursyamsi/ Red: Lida Puspaningtyas
Pengunjung melihat tarif sewa ruangan di Inul Vizta, Lebak Bulus, Jakarta, Selasa (16/1/2024). Pemerintah menetapkan kenaikan pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) untuk jasa hiburan sebesar 40 persen hingga 75 persen yang diatur dalam UU No. 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Tarif PBJT tersebut dikhususkan untuk diskotek, karaoke, kelab malam, bar dan spa.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Pengunjung melihat tarif sewa ruangan di Inul Vizta, Lebak Bulus, Jakarta, Selasa (16/1/2024). Pemerintah menetapkan kenaikan pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) untuk jasa hiburan sebesar 40 persen hingga 75 persen yang diatur dalam UU No. 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Tarif PBJT tersebut dikhususkan untuk diskotek, karaoke, kelab malam, bar dan spa.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji mengatakan, undang-undang tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) yang mengatur soal tarif pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) hiburan khusus seperti spa dan klub malam antara 40-75 persen merupakan suatu koridor tarif yang diatur melalui UU. Sementara itu, Bawono menyebut penetapan di tiap daerah merupakan domain daerah sehingga lebih leluasa selama tunduk terhadap UU HKPD. 

"Produk hukum di tiap daerah pun berupa Perda pajak yang mana merupakan kesepakatan antara pemda dan DPRD masing-masing. Jadi tidak ada kewajiban untuk menetapkan hingga batas atas 75 persen," ujar Bawono saat dihubungi Republika di Jakarta, Selasa (17/1/2024).

Baca Juga

Menariknya, ucap Bawono, praktik pengaturan perda soal berbagai jenis pajak daerah, tidak hanya atas pajak hiburan, umumnya relatif merujuk atau mendekati batas atas tarif yang tertera dalam UU. Bawono menjelaskan porsi penerimaan pajak hiburan terhadap total PAD secara rata-rata nasional relatif rendah.

"Selama sebelum pandemi (2015-2019), porsi penerimaan pajak hiburan terhadap total PAD secara rata-rata nasional hanya berada di kisaran kurang lebih dua persen," lanjut Bawono.

Bawono menilai terdapat sejumlah model win-win solution atas persoalan tersebut. Pertama, pemda bisa membuka ruang insentif fiskal bagi pengusaha di sektor hiburan khusus tersebut yang dimungkinkan dalam UU HKPD. Bawono menyampaikan hal ini bisa diberikan secara menyeluruh melalui peraturan kepala daerah atau secara terbatas berdasarkan permohonan pelaku usaha.

"Kedua, akan lebih baik jika terdapat pengaturan yang lebih spesifik mengenai definisi tiap jenis hiburan khusus tersebut. Misalkan, apakah definisi karaoke tersebut merujuk pada jenis karaoke tertentu (semisal selain karaoke keluarga)," sambung Bawono.

Dengan begitu, ucap Bawono, dampak tarif tinggi untuk hiburan khusus tidak berlaku bagi jenis hiburan yang bukan untuk kategori 'orang dewasa'. Bawono menilai kebijakan tarif akan pro terhadap usaha hiburan yang relatif tidak lekat dengan perilaku tertentu sekaligus tetap mendorong aktivitas ekonomi. 

"Ketiga, jika memang terdapat justifikasi yang kuat, pada dasarnya pemerintah pusat dapat menyesuaikan dan menetapkan tarif pajak yang berlaku secara nasional," ucap Bawono.

Bawono menyampaikan pemerintah memiliki kemampuan mengubah batas bawah tarif pajak hiburan khusus tersebut dgn memperhatikan kriteria dan prakondisi tertentu, semisal selaras dengan PSN. Bawono mengatakan hal ini juga telah diatur dalam Pasal 97 UU HKPD dan Pasal 118 PP 35/2023.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement