REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa menilai penyaluran pupuk bersubsidi dengan skema subsidi langsung atau penyerahan dana secara langsung ke petani lebih efektif dalam memenuhi kebutuhan pupuk bersubsidi.
"Pengalihan subsidi pupuk yang sekarang ini subsidinya di input atau uangnya itu masuknya ke produsen pupuk, menjadi direct cash transfer jadi uang langsung masuk ke petani. Harus ada perubahan radikal terkait dengan subsidi pupuk," kata Dwi saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Jumat (5/1/2023).
Menurutnya, dengan skema tersebut para produsen pupuk akan memberikan pelayanan terbaik kepada petani, sebagai pemegang dana, dalam menyediakan pupuk untuk memenuhi kebutuhan produksi mereka.
Dwi menjelaskan bahwa penyaluran pupuk subsidi dengan skema subsidi input di mana petani mendapatkan pupuk subsidi dari produsen dinilai rentan akan potensi penyaluran yang tidak tepat sasaran serta tindakan penyelewengan oleh oknum tidak bertanggungjawab.
"Itu (alokasi tidak tepat sasaran dan penyelewengan) semuanya akan terselesaikan dengan direct payment, dengan uang langsung di transfer ke petani, itu yang harusnya dilakukan," ujar Dwi yang juga menjabat Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI).
Terkait dengan dampak program penyaluran pupuk subsidi terhadap produktivitas petani, Dwi menilai tidak terdapat korelasi positif antara peningkatan alokasi pupuk subsidi dengan jumlah hasil produksi petani.
"Tahun 2013 subsidi pupuk Rp 17,6 triliun dan produksi 58,7 juta ton gabah kering giling (GKG). Tahun 2019 subsidi pupuk dinaikkan 2 kali lipat dibandingkan 2013, Rp34,3 triliun, produksi tahun 2019 54,6 juta ton GKG," kata Dwi memaparkan.
Menurutnya, langkah terpenting dalam meningkatkan produktivitas petani adalah dengan menjaga harga gabah kering panen (GKP) di tingkat usaha tani yakni dengan menghentikan impor beras yang berpotensi membuat harga GKP menjadi turun.
"Hasil survei AB2TI di September 2022, Rp 5.667 biaya produksi per kilogram gabah kering panen, sehingga nanti kalau harga gabah kering panen jatuh di bawah Rp6.000 petani rugi. Dampaknya apa kalau petani rugi? Petani malas lagi nanti tanam padi," terang Dwi.
Dwi memperkirakan produksi pada tahun 2024 akan meningkat 3-5 persen karena saat ini harga GKP di tingkat usaha tani mengalami peningkatan dan kondisi iklim yang kembali normal pasca El Nino atau kemarau ekstrem sehingga dapat mendorong produktivitas petani
"Petani bergairah karena harga di tingkat usaha tani saat ini naik, harga GKP di atas biaya produksi, kemudian kita sudah masuk iklim normal tidak ada El Nino lagi. Itu yang akan memicu produksi," kata Dwi.
Akan tetapi, Dwi menekankan perkiraan tersebut dapat terealisasi selama pemerintah dapat menjaga harga gabah kering panen di tingkat usaha tani.