REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Rachmat Kaimuddin mengatakan, pemerintah menetapkan penghapusan pajak hingga bea masuk untuk mobil listrik completely built up (CBU) atau impor utuh sampai akhir 2025.
"Bagi yang hendak berkomitmen membuat pabrik di Indonesia, kita akan berikan keringanan waktu dua tahun sampai akhir 2025, Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) dan bea masuknya kami berikan nol persen, tapi, PPN-nya masih 11 persen supaya jadi pembeda dengan yang di dalam dan yang belum," kata dia di Jakarta, Jumat (15/12/2023).
Dengan ini, artinya industri otomotif yang hendak membangun pabrik mobil listrik di Tanah Air masih diperbolehkan untuk mengimpor mobil CBU hingga akhir 2025. Hal itu sebagaimana tertuang dalam Perpres Nomor 79 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Listrik.
Meski begitu, Rachmat menekankan bahwa mereka harus memproduksi kendaraan di dalam negeri dengan jumlah yang sama dengan kendaraan yang mereka impor hingga 2027. Bila jumlah yang telah ditentukan tidak tercapai, Rachmat menyebut mereka akan dikenakan sanksi sebesar nilai yang setara dengan insentif yang diberikan.
"Jadi, kalau mereka impor misalnya seribu unit sampai 2025, mereka harus produksi seribu juga di 2027. Kalau kurang mereka harus bayar, dikenakan sanksi sebesar insentif yang kita berikan. Jadi, tidak bisa main-main, pura-pura memproduksi padahal tidak," Rachmat menjelaskan.
Selain itu, diskon Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 1 persen juga tidak akan berlaku bagi produk CBU. Pasalnya, produk tersebut tidak memiliki syarat Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) sesuai dengan Perpres.
Rachmat menyebut bahwa para produsen tidak hanya dapat membuat pabriknya sendiri, tapi, juga diperbolehkan untuk menggandeng fasilitas perakitan lokal untuk memproduksi mobil listrik. "Sebenarnya pada prinsipnya harus TKDN 40 persen, jadi apakah bikin pabrik atau apakah dia bisa kerja sama, selama itu cukup TKDN, maka tenaga kerja terbangun di domestik," imbuh Rachmat.