Kamis 23 Nov 2023 21:05 WIB

Ekonom: Masa Depan Ekonomi Dunia tak Hanya Pertumbuhan dan Inflasi

MMT adalah teori ekonomi heterodoks yang menantang pandangan MsMT mengenai inflasi.

Pedagang menata dagangannya di grosir sayur pasar Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, Kamis (23/11/2023). Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Sidoarjo mengoperasikan grosir sayur di Pasar Porong yang memiliki kapasitas 329 lapak sayur dan buah untuk mendukung pertumbuhan ekonomi di wilayah itu serta meningkatkan aksesibilitas produk-produk pertanian segar bagi warga setempat.
Foto: Antara/Umarul Faruq
Pedagang menata dagangannya di grosir sayur pasar Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, Kamis (23/11/2023). Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Sidoarjo mengoperasikan grosir sayur di Pasar Porong yang memiliki kapasitas 329 lapak sayur dan buah untuk mendukung pertumbuhan ekonomi di wilayah itu serta meningkatkan aksesibilitas produk-produk pertanian segar bagi warga setempat.

REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Guru Besar Ilmu Ekonomi Moneter dan Keuangan Internasional Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) Prof. Ir. Sugiharso Safuan, M.E., Ph.D berpendapat masa depan perekonomian dunia ke depan tidak sekadar ditandai oleh perkembangan pertumbuhan ekonomi, inflasi dan pengangguran.

Namun, juga bagaimana hubungan antara pengambil kebijakan di setiap negara melihat tanggung jawabnya sendiri, antara pemerintah sebagai otoritas fiskal dan bank sentral sebagai otoritas moneter, dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Baca Juga

Sugiharso memaparkan tentang berbagai teori yang muncul saat krisis besar terjadi pada 1929. Saat itu, John Maynard Keynes seorang ekonom dari Inggris meyakini krisis disebabkan oleh kurangnya permintaan agregat.

Pendapat berbeda datang dari Milton Friedman ekonom asal Amerika Serikat, yang menganggap bahwa krisis besar disebabkan oleh kebijakan moneter yang salah.

Beranjak dari kedua pandangan berbeda tersebut, Sugiharso membahas lebih dalam seputar Teori Moneter Arus Utama (Mainstream Monetary Theory atau MsMT) dan Teori Moneter Modern (Modern Monetary Theory atau MMT), mulai dari pendekatan, perbedaan, kritik, dan implikasinya terhadap pengendalian inflasi.

Ia menjelaskan MsMT memandang inflasi sebagai fenomena moneter akibat pasokan uang yang berlebihan relatif terhadap permintaan barang dan jasa.

Teori ini didasarkan pada premis bahwa uang adalah faktor penting dalam perekonomian, sehingga perubahan jumlah uang beredar dapat mempengaruhi tingkat harga, output dan lapangan kerja.

Teori ini terbilang dominan dalam ekonomi makro selama beberapa dekade terakhir untuk menjelaskan berbagai fenomena ekonomi, seperti inflasi, resesi dan pertumbuhan ekonomi.

"Namun, pada 2020 telah muncul teori ekonomi moneter baru, yakni MMT," katanya.

Menurutnya, hal ini menarik untuk dianalisis karena kepopulerannya telah mencuri perhatian para ekonom terkemuka dan beberapa pandangan sangat bertentangan dengan pandangan yang telah dikemukakan dalam MsTM.

“MMT adalah teori ekonomi heterodoks yang menantang pandangan MsMT mengenai inflasi. MMT berpendapat bahwa inflasi disebabkan oleh faktor sisi penawaran, seperti inflasi dorongan biaya (cost-pushinflation), bukan faktor moneter.

Selain itu, MMT memandang bank sentral tidak dibatasi oleh kebutuhan untuk menyeimbangkan anggaran mereka. Dengan begitu, bank sentral dapat menciptakan uang sesuai kebutuhan untuk membiayai pengeluaran pemerintah,” kata Sugiharso.

Ia pun mengaitkan dengan pentingnya independensi bank sentral, karena memungkinkan untuk membuat keputusan yang sesuai dengan kepentingan terbaik ekonomi.

Implikasinya, mampu menahan tekanan dan menaikkan suku bunga. Meskipun demikian, mempertahankan independensi untuk mencapai target yang ditetapkan cukup sulit, terutama di negara yang didera krisis atau kurang stabilnya sistem politik dalam menghadapi sejumlah tantangan.

sumber : ANTARA
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement