Selasa 07 Nov 2023 19:07 WIB

Laporan: China Fasilitasi Pinjaman Rp 21 Ribu Triliun ke Negara Berkembang

Pinjaman ke negara-negara Eropa juga meningkat hampir empat kali lipat.

Rep: Novita Intan/ Red: Lida Puspaningtyas
Presiden China Xi Jinping.
Foto: EPA-EFE/JU PENG / XINHUA
Presiden China Xi Jinping.

REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Lembaga keuangan China  tercatat meminjamkan 1,34 triliun dolar AS atau sekitar Rp 21 ribu triliun ke negara-negara berkembang dari tahun 2000 hingga 2021. Pada laporan peneliti Amerika Serikat, AidData menunjukkan pemberi pinjaman bilateral terbesar di dunia beralih dari pinjaman infrastruktur ke pinjaman penyelamatan.

Meskipun komitmen pinjaman sebesar 136 miliar dolar AS pada 2016, Tiongkok masih berkomitmen memberikan pinjaman dan hibah sebesar 80 miliar dolar AS pada 2021. Hal ini mencakup hampir 21 ribu proyek di 165 negara berpenghasilan rendah dan menengah dan mungkin merupakan kumpulan data paling komprehensif dari jenisnya.

Baca Juga

Seperti dilansir dari laman Reuters, Selasa (7/11/2023) pendanaan luar negeri di Beijing dan negara-negara berkembang menuai kritik dari negara-negara Barat dan beberapa negara penerima, termasuk Sri Lanka dan Zambia, bahwa proyek-proyek infrastruktur yang didanai Tiongkok membebani mereka dengan utang yang tidak mampu mereka bayar kembali.

Data menunjukkan bahwa sumber dan fokus pendanaan luar negeri Tiongkok telah berubah. Pada 2013, ketika Presiden Xi Jinping meluncurkan inisiatif untuk membangun infrastruktur di negara-negara berkembang, bank-bank kebijakan Tiongkok menyumbang lebih dari setengah pinjaman. Porsinya mulai menurun sejak 2015 dan menjadi 22 persen pada 2021.

Bank Rakyat Tiongkok dan Administrasi Valuta Asing Negara (SAFE), yang mengelola cadangan mata uang asing Tiongkok, menyumbang lebih dari separuh pinjaman pada 2021, hampir semuanya merupakan pinjaman dana talangan.

“Beijing sedang menjalankan peran yang asing dan tidak nyaman, sebagai penagih utang resmi terbesar di dunia,” kata laporan AidData, sebuah laboratorium penelitian di Universitas William dan Mary.

Laporan tersebut menemukan bahwa sebagian besar pertumbuhan pinjaman penyelamatan Tiongkok dalam mata uang renminbi, dengan pinjaman dalam mata uang Tiongkok melampaui dolar AS pada 2020. Pembayaran yang terlambat kepada pemberi pinjaman Tiongkok juga meningkat.

Salah satu cara Tiongkok mengelola risiko pembayaran melalui rekening escrow tunai dalam mata uang asing yang dikontrolnya. Pengaturan ini kontroversial karena memberikan senioritas utang kepada Tiongkok, yang berarti pemberi pinjaman lain, termasuk bank pembangunan multilateral, bisa mendapat bayaran kedua dalam keringanan utang terkoordinasi.

AidData mengidentifikasi 15 negara, terutama di Afrika, dengan total rekening escrow sebesar 2,5 miliar dolar AS pada puncaknya Juni 2023.

Brad Parks, penulis utama studi tersebut, mengatakan mereka tidak dapat mengidentifikasi semua akun tersebut, karena biasanya akun tersebut dirahasiakan. Namun, ia mencatat bahwa mereka telah menemukan pinjaman yang dijaminkan senilai 614 miliar dolar As dan uang tunai merupakan sumber jaminan utama yang dibutuhkan oleh pemberi pinjaman Tiongkok, yang menunjukkan bahwa jumlah rekening escrow bisa jauh lebih tinggi dari 2,5 miliar dolar AS.

Tiongkok juga lebih banyak bekerja sama dengan pemberi pinjaman multilateral dan bank komersial Barat. Setengah dari pinjaman non-darurat pada 2021 merupakan pinjaman sindikasi, 80 persem di antaranya merupakan pinjaman dari bank-bank Barat dan lembaga keuangan internasional.

Tujuan pinjaman luar negeri Tiongkok juga telah berubah. Komitmen pinjaman ke negara-negara Afrika turun dari 31 persen dari total pada 2018 menjadi 12 persen pada 2021, sementara pinjaman ke negara-negara Eropa meningkat hampir empat kali lipat menjadi 23 persen.

Kumpulan data lain menunjukkan komitmen pinjaman ke negara-negara Afrika turun ke titik terendah dalam 20 tahun pada 2022.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement