Senin 23 Oct 2023 18:30 WIB

BI: Suku Bunga Acuan 6 Persen demi Redam Pelemahan Rupiah 

Rupiah tertekan yield obligasi karena AS perlu membiayai Ukraina dan Israel.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Fuji Pratiwi
Warga menukarkan uang tunai baru di layanan kas keliling  Bank Indonesia di kawasan Pasar Tebet Barat, Jakarta, Selasa (28/3/2023).
Foto: Republika/Thoudy Badai
Warga menukarkan uang tunai baru di layanan kas keliling Bank Indonesia di kawasan Pasar Tebet Barat, Jakarta, Selasa (28/3/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Juda Agung menyampaikan, langkah Bank Indonesia yang baru saja menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps menjadi enam persen pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) pekan lalu semata-mata ditujukan untuk meredam pelemahan nilai tukar rupiah. 

Pergerakan nilai tukar rupiah, mengutip data Bloomberg hingga Senin (23/10/2023) pada pukul 14.00 WIB telah menyentuh level Rp 15.930 per dolar AS. 

Baca Juga

Pelemahan nilai tukar rupiah itu, salah satunya merupakan dampak dari penguatan mata uang dolar AS dalam bebeberapa waktu terakhir. Di mana, telah terjadi volatilitas tinggi pada pasar keuangan global.

"Ini menjadi dasar bagi kami dalam RDG terakhir, kami menaikkan suku bunga kebijakan sebesar 25 bps menjadi 6 persen. Tujuannya untuk memperkuat stabilisasi nilai tukar rupiah," kata Juda, Senin (23/10/2023). 

Juda menyampaikan, ketidakpastian global hingga kenaikan laju inflasi yang meningkat dalam beberapa waktu terakhir telah berdampak bagi ekonomi global dan volatilitas di pasar keuangan. Hal itu tak lepas dari situasi perang Rusia-Ukraina yang belum usai, disususl krisis geopolitik di Timur Tengah antara Zionis Israel dan Palestina. 

Demi menjaga inflasi, negara-negara maju lantas mempertahankan era suku bunga tinggi sebagai respons moneter. Juda mengatakan, situasi suku bunga tinggi kali ini diproyeksi akan berlangsung lama.

Perkembangan tersebut lantas mendorong pembalikan arus modal dari negara Emerging Market Economies (EMEs) ke negara maju dan ke aset yang lebih likuid, yang mengakibatkan dolar AS menguat secara tajam terhadap berbagai mata uang dunia.  Juda menambahkan, disamping menjaga inflasi dengan suku bunga tinggi, Pemerintah AS juga memerlukan pendanaan untuk berbagai macam keperluan, termasuk untuk perang.

"Secara eksplisit, Yellen (Menteri Keuangan AS) sudah menyebutkan bahwa dia akan back up perang, baik yang terjadi di Rusia maupun di Timur Tengah. Jadi ini perlu pembiayaan politik dan keamanan dan pada akhirnya mendorong kenaikan yield (imbal hasil) dari suku bunga di AS," kata Juda. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement