Sabtu 16 Sep 2023 09:15 WIB

Catatan BPS dan Data China Beda Jauh, Impor Tekstil Ilegal Disebut Makin Marak

Terdapat kesenjangan catatan impor Indonesia dengan data ekspor China.

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Ahmad Fikri Noor
Ilustrasi impor.
Foto: M RISYAL HIDAYAT/ANTARA
Ilustrasi impor.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) menyatakan, impor tekstil ilegal semakin meresahkan. Hal itu pun menjadi penyebab terpuruknya industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) nasional dalam beberapa tahun terakhir. 

Data International Trade Center (ITC) memperlihatkan gap sangat besar antara catatan impor Indonesia berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dengan data ekspor China ke Indonesia berdasarkan data dari General Custom Administration of China. Dari data tersebut, Ketua Umum APSyFI Redma mengatakan, pada 2022 gap atau kesenjangannya mencapai 2,94 miliar dolar AS atau setara Rp 43 triliun.

Baca Juga

Kemudian, ekspor TPT China ke Indonesia untuk TPT (HS 50-63) mencapai 6,5 miliar dolar AS. Sedangkan angka impor TPT BPS hanya 3,55 miliar dolar AS.

“Jika diasumsikan impor per kontainer senilai Rp 1,5 miliar, maka diperkirakan sekitar 28.480 kontainer TPT ilegal masuk per tahun. Angka itu sekitar 2.370 kontainer ilegal per bulan” ujar Redma dalam keterangan yang disampaikan ke Republika, Jumat (15/9/2023).

Ia menyebutkan, angka impor ilegal itu terus naik setiap tahun. Padahal beberapa tahun sebelumnya masih di bawah 2 miliar dolar AS.

Jika dibandingkan nilai konsumsi TPT masyarakat pada 2022 yang diperkirakan mencapai 16 miliar dolar AS, maka pangsa pasar barang impor ilegal ini mencapai 41 persen. “Artinya, 41 persen TPT yang dikonsumsi masyarakat adalah ilegal,” tegas dia. 

Hal itu, lanjutnya, dinilai sangat merugikan, karena berbagai barang impor ilegal tidak membayar Bea Masuk dan Pajak. Maka bisa dijual sangat murah di pasar domestik dan produk lokal kalah bersaing.

Redma menambahkan, permasalahan ini sudah menahun menjadi biang kerok terpuruknya kinerja industri TPT nasional. Ia menjelaskan, 6,5 miliar dolar AS setara dengan 800 ribu ton atau sekitar 45 persen dari kapasitas produksi Industri Kecil Menengah (IKM) garmen yang berorientasi pasar domestik. 

“800 ribu ton per tahun jika dikerjakan oleh IKM bisa menyerap tenaga kerja sekitar 2,4 juta orang. Belum lagi jika ditarik sampai ke pembuatan kain, benang, serat hingga industri pendukung lainnya” jelas Redma.

Dirinya mengatakan, efeknya terhadap ekonomi sangat besar. Selain pendapatan pemerintah dari sektor pajak, juga dari penggunaan listrik, pembayaran BPJS dan lain sebagainya. Maka, Redma meminta agar pemerintah segera bertindak tegas baik di sisi importasinya maupun dari sisi peredarannya di pasar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement