Senin 11 Sep 2023 16:37 WIB

Mengenal Carbon Capture and Storage yang Mau Dijadikan RI untuk Tarik Investasi Asing

CCS adalah teknologi yang digunakan untuk menyimpan emisi CO2.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Lida Puspaningtyas
Dari kiri ke kanan: Ketua Ketua Panitia Pelaksana IICCS Forum 2023 Merry Marteighianti, Deputi Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kemenko Marves Jodi Mahardi, dan Eksekutif Direktur ICCSC, Belladonna Troxylon Maulianda, dalam konferensi pers International & Indonesia CCS Forum di Hotel Mulia Senayan, Jakarta, Senin (11/9/2023).
Foto: Dedy Darmawan Nasution
Dari kiri ke kanan: Ketua Ketua Panitia Pelaksana IICCS Forum 2023 Merry Marteighianti, Deputi Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kemenko Marves Jodi Mahardi, dan Eksekutif Direktur ICCSC, Belladonna Troxylon Maulianda, dalam konferensi pers International & Indonesia CCS Forum di Hotel Mulia Senayan, Jakarta, Senin (11/9/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah mulai memetakan pengembangan teknologi carbon capture and storage (CCS) atau penyimpanan emisi karbon dioksida (CO2) yang potensial di Indonesia. Adapun CCS ini juga digadang-gadang akan menjadi jalan baru bagi pemerintah dalam menarik investasi khususnya sektor industri untuk masuk ke Indonesia.

Lalu, seperti apa CCS itu?

Secara sederhana CCS adalah teknologi yang digunakan untuk menyimpan emisi CO2 dari kegiatan industri sehingga tidak mencemari udara.

Direktur Eksekutif Indonesia Carbon Capture and Storage Center (ICCSC) Belladonna Troxylon Maulianda, menjelaskan, CO2 tersebut diinjeksikan ke dalam reservoir di bawah tanah dengan kedalaman hingga dua kilometer.

“Saat CO2 diinjeksikan, harapannya dia bisa terlarut di dalam air dan yang kedua akan berikatan secara kimia di batuan tanah dan tersimpan permanen,” jelas Belladonna dalam konferensi pers International & Indonesia CCS Forum di Jakarta, Senin (11/9/2023).

Lebih lanjut, Belladonna menjelaskan, CO2 yang diinjeksikan ke dalam tanah itu juga bisa mengisi pori-pori batuan. Dengan begitu, CO2 yang telah masuk ke dalam reservoir dipastikan tetap tersimpan dengan aman.

“Jadi, secara teknis ini sangat aman karena sudah dilakukan oleh Kanada, AS, dan Norwegia sejak tahun 1980,” ujarnya menambahkan.

Ia menuturkan, keberadaan CCS kini mulai diperhitungkan oleh para pemain industri global yang mulai fokus mengurangi emisinya. Menurutnya, banyak para investor yang telah melirik Indonesia bila memang CCS dapat diakses oleh mereka. Besarnya potensi CCS di Tanah Air membuat peluang besar untuk digunakan oleh perusahaan luar negeri. 

Indonesia, lanjut Belladonna, menjadikan AS dan Kanada sebagai tolok ukur pengembangan CCS di Indonesia karena telah lebih dulu menerapkan teknologi itu.

Adapun ihwal prospek bisnis dari sisi hulu penyedia CCS, kata dia, pendapatan bisa diperoleh melalui beberapa opsi. Seperti dari biaya penyimpanan CO2, biaya injeksi, maupun carbon credit.

Di sisi hilir, perusahaan yang menggunakan CCS juga bisa mendapatkan nilai tambah dalam produknya. Ia mencontohkan seperti PT Pupuk Indonesia (Persero) yang tengah mulai mengembangan produk blue ammonia. Disebut blue ammonia karena gas CO2 dari hasil produksi ammonia itu diinjeksi ke fasilitas CCS sehingga proses produksi bebas emisi.

“Negara-negara maju itu mereka juga melacak rantai pasok. Apakah produknya masih beremisi atau tidak,” ujarnya.

Sementara itu, pemerintah mengakui tengah menyiapkan regulasi melalui Peraturan Presiden (Perpres) untuk mengatur fasilitas CCS. Deputi Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi, Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Jodi Mahardi, menuturkan, Perpres CCS tersebut diharapkan bisa diterbitkan pada tahun ini sehingga pengembangan CCS ke depan dapat dipetakan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement