Rabu 06 Sep 2023 07:08 WIB

Menilik Penyebab Ekonomi China Melambat dan Imbasnya ke Indonesia

Tingkat pengangguran China juga mulai naik pada bulan lalu.

Rep: Iit Septyaningsih/Rahayu Subekti/ Red: Lida Puspaningtyas
Foto udara proyek pembangunan perumahan milik developer Evergrande di Beijing, Rabu (22/9).
Foto: AP News
Foto udara proyek pembangunan perumahan milik developer Evergrande di Beijing, Rabu (22/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kondisi ekonomi China sedang melambat dan menjadi akar dari segala perlambatan ekonomi global. Salah satu penyebab perlambatan China karena adanya krisis pada sektor properti.

Sejak 2021, beberapa perusahaan real estate besar di China bangkrut, seperti Country Garden dan Evergrande. Padahal, sektor tersebut menjadi salah satu sumber lapangan kerja bagi masyarakat di Negeri Tirai Bambu tersebut.

Baca Juga

Dilansir The New York Times pada Selasa (5/9/2023), ada beberapa penyebab krisis properti di China. Di antaranya, selama beberapa puluh tahun terakhir, pemerintah China memberi izin properti meminjam dalam jumlah banyak guna membiayai proyeknya.

Hanya saja pada 2020, pemerintah menghentikan gelembung pada sektor perumahan dengan menghentikan aliran dana ke perusahaan real estate. Penghentian itu lewat kebijakan utang tidak boleh lebih dari 70 persen aset, lalu utang bersih tidak lewat dari 100 persen ekuitas, dan cadangan uang minimal 100 persen dari utang jangka pendek.

Akibat kebijakan itu, perusahaan properti besar di China mengalami gagal bayar. Lembaga pemeringkat Standard & Poor's melaporkan, sebanyak 50 perusahaan properti di negara tersebut tidak bisa membayar utang dalam tiga tahun terakhir.

Tidak berhenti sampai situ, ekonomi China dikabarkan tengah menghadapi tekanan beruntun. Mulai dari lesunya konsumsi masyarakat, inflasi yang rendah atau mengalami deflasi, sektor manufaktur yang melambat, hingga krisis yang menimpa beberapa sektor.

Biro Statistik Nasional (NBS) merilis data penjualan ritel, industri, dan investasi semuanya tumbuh pada kecepatan yang lebih lambat dari yang diharapkan. Berdasarkan data NBS, output industri tumbuh 3,7 persen dari tahun sebelumnya, melambat dari laju 4,4 persen yang terlihat pada Juni. Ini berada di bawah ekspektasi untuk kenaikan 4,4 persen dalam survei Reuters.

Sedangkan penjualan ritel hanya tumbuh 2,5 persen pada Juli lalu, turun dari kenaikan 3,1 persen pada Juni dan meleset dari perkiraan analis pertumbuhan 4,5 persen meskipun tren perjalanan meningkat di musim panas. Tingkat pengangguran China juga mulai naik pada bulan lalu, yakni sebesar 5,3 persen, dari sebelumnya pada Juni lalu sebesar 5,2 persen. 

Meski begitu, sejumlah ekonom menilai dampak lesunya ekonomi China tidak akan langsung terasa ke dalam negeri. Meski negara itu merupakan salah satu mitra dagang Indonesia.

"Sektor keuangan kita baik-baik saja, terlepas dari perekonomian China yang loyo. Itu karena, satu, sejauh ini sektor keuangan kita mengandalkan aktivitas ekonomi domestik," ujar Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) Teuku Riefky kepada Republika, Selasa (5/9/2023).

Hanya saja, katanya, kondisi sektor riil dan sektor keuangan berbeda. Itu karena, sektor riil nasional sangat mengandalkan perekonomian China, baik dari sisi ekspor maupun impor.

"Sehingga kondisi China yang melemah jadi sinyal risiko terhadap ekonomi Indonesia, tapi dari sisi sektor riil. Bukan dari sisi keuangan," tutur Riefky.

Kendati demikian, Indonesia dinilai tetap perlu mewaspadai kondisi perekonomian China yang tengah menurun. Itu karena, risiko keuangan yang ditimbulkan dari masalah China perlu waktu.

Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menegaskan, dampak ekonomi China terhadap Indonesia tidak langsung, melainkan secara perlahan. Efeknya mulai ketika kinerja perdagangan internasional Indonesia menurun surplus-nya. Bahkan, sambung dia, tidak menutup kemungkinan menjadi defisit.

Harga berbagai komoditas unggulan ekspor Indonesia terutama yang diserap oleh China seperti olahan nikel, CPO, barang tambang, perkebunan, dan lainnya juga pasti terdampak. Dengan begitu, tegas dia, pasti berimbas ke sektor perbankan nasional.

"Imbasnya tentu ke sektor perbankan yang membiayai orientasi ekspor impor. Jadi kalau dilihat sekarang (dampaknya) ya belum terasa, tapi jangan lengah," tegas Bhima.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga mengungkapkan saat ini ketidakpastian perekonomian global masih...

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement