Selasa 29 Aug 2023 23:30 WIB

OJK Berencana Perbarui Roadmap Keuangan Berkelanjutan

OJK saat ini meninjau ulang untuk memperbarui Roadmap Keuangan Berkelanjutan.

Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar mengatakan, OJK saat ini meninjau ulang untuk memperbarui Roadmap Keuangan Berkelanjutan Tahap II guna mempercepat penerapan prinsip lingkungan, sosial dan tata kelola di Indonesia.

“OJK sendiri saat ini sedang memutakhirkan Sustainable Finance Roadmap-nya. Pada tahun ini, di awal tahun bulan Maret, ASEAN baru saja merevisi ASEAN Taxonomy on Sustainable Finance versi II," kata Mahendra dalam acara peluncuran Asosiasi ESG Indonesia di Jakarta, Senin (28/8/2023).

Baca Juga

Roadmap Keuangan Berkelanjutan Tahap II berfokus pada penciptaan ekosistem keuangan berkelanjutan secara komprehensif, dengan melibatkan seluruh pihak terkait dan mendorong pengembangan kerja sama dengan pihak lain. Roadmap tersebut diharapkan dapat menjadi landasan bagi Sektor Jasa Keuangan dan rujukan untuk Kementerian atau Lembaga terkait dalam mengembangkan inisiatif-inisiatif pembiayaan inovatif.

Mahendra menjelaskan, pembaharuan Roadmap Keuangan Berkelanjutan Tahap II perlu dilakukan untuk mengikuti pembaharuan dari ASEAN Taxonomy on Sustainable Finance yang sudah mengesahkan bahwa pembiayaan terhadap pengakhiran operasional dini atau early retirement dari PLTU merupakan aktivitas hijau.

ASEAN Taxonomy on Sustainable Finance merupakan panduan yang dirancang untuk memungkinkan transisi yang adil menuju adopsi keuangan berkelanjutan oleh negara anggota ASEAN. Sementara itu, ASEAN Taxonomy for Sustainable Finance versi II merupakan penyempurnaan dari versi I terdahulu.

Hal itu menjadi suatu terobosan besar mengingat ASEAN menjadi kawasan pertama yang melakukannya di tengah kawasan lain yang mendukung pengakhiran operasional PLTU, namun enggan untuk membiayainya. Hal tersebut karena negara-negara di kawasan lain pantang untuk membiayai aktivitas berbasis batu bara.

Ia menilai, diperlukan adanya kolaborasi bersama antar pihak, terutama melalui pembiayaan investasi untuk berhasil merealisasikan pengakhiran dini PLTU. Berdasarkan kajian dari Institute for Essential Services Reform (IESR), diperlukan setidaknya 4-5 miliar dolar AS untuk merealisasikan pemberhentian PLTU.

"Padahal kalau kita lihat kembali ke dalam basis dan prinsip dari ESG tadi, persoalannya adalah bagaimana mencapai keseimbangan antara environment, social, dan tentu dalamnya economic development, dalam tata kelolaan yang baik dan governance yang baik," pungkasnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement