Jumat 18 Aug 2023 08:41 WIB

Kritik Anggaran Sektor Pangan, Pengamat: Kesejahteraan Petani Selalu Tertinggal

Anggaran yang dialokasikan minim meningkatkan kesejahteraan petani.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Ahmad Fikri Noor
Petani melihat kondisi sawah yang mengering di Desa Kedung Kelor, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Sabtu (17/6/2023).
Foto: ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah
Petani melihat kondisi sawah yang mengering di Desa Kedung Kelor, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Sabtu (17/6/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pengamat pangan dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, Khudori, mengkritik alokasi anggaran ketahanan pangan 2024 kendati mengalami kenaikan dari tahun lalu. Pasalnya, anggaran yang dialokasikan pemerintah minim dalam program peningkatan kesejahteraan petani. 

Mengacu kepada Nota Keuangan RAPBN 2024 yang disampaikan Presiden Joko Widodo pada Rabu (16/8/2023), anggaran ketahanan pangan dialokasikan sebesar Rp 108,8 triliun atau naik dari tahun 2023 sebesar Rp 104,2 triliun. Dana itu diprioritaskan untuk peningkatan ketersediaan akses dan stabilisasi harga pangan, peningkatan produksi pangan domestik, penguatan kelembagaan petani, dan dukungan pembiayaan serta perlindungan usaha tani. Selain itu juga digunakan untuk percepatan pembangunan dan rehabilitasi infrastruktur pangan, pengembangan kawasan food estate, serta penguatan cadangan pangan nasional.

Baca Juga

“Tidak ada prioritas langsung untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Orientasi atau tujuan meningkatkan kesejahteraan petani dari tahun ke tahun selalu tertinggal,” kata Khudori melalui pesan tertulisnya, Kamis (17/8/2023). 

Khudori menegaskan, orientasi dan prioritas anggaran pemerintah masih pada sebatas produksi, ketersediaan, akses, dan stabilisasi harga. 

“Semua ini orientasi utamanya adalah untuk konsumen. Perlu keberanian untuk menggeser prioritas ketahanan pangan itu ke tujuan mensejahterakan petani,” tegasnya. 

Ia pun menduga, dari total anggaran Rp 108 triliun alokasi secara detail tidak jauh berubah. Di mana, salah satu alokasi terbesar adalah untuk bantuan pangan, serta bantuan pangan non tunai (BPNT). Sedangkan alokasi terbesar kedua masih terkait dengan sarana dan prasarana pertanian termasuk jaringan irigasi, bendungan, embung, dan subsidi pupuk. 

Lebih lanjut, kata Khudori, sejauh ini pemerintah mengklaim membangun sekian embung, bendungan, dan jaringan irigasi. Infrastruktur itu salah satunya dibangun untuk memastikan, ketersediaan air. Namun logikanya, jika benar infrastruktur pertanian ini dibangun masif mestinya diikuti kenaikan produksi komoditas pangan. 

Akan tetapi, bila dilihat lebih jauh pembangunan infrastruktur pertanian itu belum berdampak maksimal pada peningkatan produksi pangan dalam negeri. Pembangunan infrastruktur pertanian pun dinilai Khudori tidak linier dengan peningkatan produksi pangan. 

“Dugaan saya, ini ada kaitannya dengan hasil audit BPK berbagai tahun, yang kesimpulannya cukup mengagetkan. Pembangunan infrastruktur, salah satunya irigasi tidak diketahui benefitnya atau sumbangannya bagi peningkatan produksi pertanian” ujarnya. 

Menurut Khudori, itu bisa disebabkan oleh sejumlah faktor. Misalnya, bendungan yang dibangun tidak dilengkapi jaringan irigasi. Alhasil, air yang ditampung di bendungan tidak termanfaatkan dengan baik. 

“Ada pula irigasi primer dan sekunder sudah dibangun, tapi irigasi berikutnya, yakni tersier, belum dibangun. Lagi-lagi air jadi tak tersedia. Ada juga jaringan irigasi dibangun jauh dari wilayah sawah yang dicetak,” ujar dia. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement