REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Center of Economic and Law Studies (Celios) menilai kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) akan berdampak terhadap realisasi investasi di Indonesia. Tercatat sepanjang semester I 2023 realisasi investasi sebesar Rp 678,7 triliun.
Direktur Celios Bhima Yudhistira mengatakan kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat memicu biaya modal menjadi mahal, sehingga mengganggu realisasi investasi khususnya penanaman modal asing.
"Investor akan wait dan see, mau bikin pabrik juga mahal. Jadi hal kurang baik juga terhadap pemulihan ekonomi apalagi menjelang pemilihan umum," ujarnya ketika dihubungi Republika, Kamis (27/7/2023).
Bhima menyebut The Fed berpeluang untuk menaikkan suku bunga acuannya dua sampai tiga kali pada tahun ini. Hal ini menjadi sebuah indikasi akan ada inflasi tinggi bahkan 'bandel' di negara maju.
"Artinya berpengaruh terhadap devisa ekspor yang masuk karena negara maju yang menjadi mitra dagang Indonesia masih menghadapi masalah tekanan domestik dari inflasi dan konsumsi domestik termasuk tenaga kerja," ucapnya.
Dampak lainnya, Bhima juga menyebut, terkait arus modal keluar yang bisa melemahkan nilai tukar Rupiah. Apalagi saat ini Bank Indonesia masih mempertahankan suku bunga acuan sebesar 5,75 persen.
"Bank Indonesia harus responsif, harus ada penyesuaian suku bunga. Sebab suku bunga untuk menahan arus modal asing yang keluar tapi kemungkinan kenaikan 25 basis poin pada Agustus, kemudian diimbangi kebijakan lainnya contoh antisipasi biaya bunga pinjaman valas semakin mahal berisiko sektor keuangan terutama perusahaan yang belum melakukan hedging (lindung nilai)," kata Bhima menjelaskan.
Bank Sentral Amerika (The Fed) kembali menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) atau 0,25 persen menjadi 5,25-5,5 persen. Setelah kenaikan ke-11 kalinya itu dalam 12 pertemuan terakhir, Ketua The Fed Jerome Powell mengungkapkan masih akan terbuka mengenai peluang kenaikan suku bunga lanjutan pada pertemuan September 2023.