Ahad 16 Jul 2023 17:49 WIB

Pengamat: Percepatan Revisi Permendag 50/2020 Ditunggu Jutaan UMKM

Rencana perbaikan aturan sudah berlangsung berbulan-bulan tapi terhenti di Kemendag.

Gedung Kementerian Perdagangan RI (ilustrasi)
Foto: dokpri
Gedung Kementerian Perdagangan RI (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Jutaan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) kini menanti aksi nyata menteri perdagangan Zulkifli Hasan untuk melindungi usaha mereka. Salah satu caranya adalah segera mengesahkan revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020 mengenai Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan melalui Sistem Elektronik. Rencana perbaikan aturan itu sudah berlangsung berbulan-bulan tapi terhenti di Kemendag. 

"Kalau Permendag Nomor 50 Tahun 2020 tidak segera direvisi, maka akan menjadi pukulan telak bagi UMKM. Ibaratnya UMKM ini disuruh pergi perang tapi tidak dikasih senjata. Dalam jangka pendek, Permendag ini akan menolong UMKM. Tetapi pemerintah juga harus membantu UMKM agar lebih kuat dalam jangka panjang," kata Ekonom Universitas Gajah Mada (UGM) Eddy Junarsin dalam keterangannya di Yogyakarta, beberapa waktu lalu.

Baca Juga

Edy lalu menunjuk agresivitas platform e-commerce dan social commerce asing yang telah menjadikan pasar Indonesia sebagai target utama mereka. Salah satu yang kini jadi sorotan adalah Tiktok. Platform social commerce asal Tiongkok ini sedang menjalankan project S melalui Tiktok Shop untuk memperbesar bisnisnya di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Menurut Edy, pemerintah harus membatasi transaksi melalui social commerce atau perdagangan elektronik media sosial seperti TikTok Shop hanya untuk produk-produk dengan harga tertentu. Misalnya ditetapkan harga per produk mininal sebesar US$ 100. Dengan demikian, produk-produk yang bisa diperjualbelikan oleh platform media sosial hanya produksi dalam negeri atau didominasi oleh produk UMKM.

"Pemerintah harus tegas posisinya dalam melindungi UMKM.  Selain dengan regulasi, pemerintah juga wajib memberikan bantuan teknis, seperti memperbanyak pelatihan, bantuan manajemen, pinjaman kredit lunak, dan lain sebagainya. Hal itu, akan lebih bermanfaat untuk memperkuat daya saing UMKM terhadap produk-produk impor," katanya.

Saat ini Tiktok menjadi sorotan banyak kalangan menyusul kekhawatiran sejumlah pihak atas perilaku bisnis perusahaan Tiongkok ini. Melalui project S lewat Tiktok Shop, platform ini diduga sedang berupaya mengumpulkan berbagai data mengenai perilaku transaksi konsumen di seluruh dunia. Dengan mengetahui perilaku konsumen dan produk-produk yang paling laku, Tiktok kemudian diduga berusaha memproduksi barang sejenis di China dan di jual dengan harga lebih murah. 

Hancurnya bisnis UMKM akibat banjirnya produk murah dari Tiongkok yang dijual lewat platform online sudah terjadi di bisnis Hijab. 

Berdasarkan studi World Economic Forum (WEF), hingga tahun 2021 produksi hijab lokal hanya tinggal 25 persen, sementara 75 persen dari sekitar 1,02 miliar hijab yang dijualbelikan di Indonesia dikuasai oleh produk impor. Padahal di tahun 2021 masyarakat Indonesia ditaksir menghabiskan uang untuk membeli hijab hingga 6,9 miliar dolar AS.

Untuk memperkuat strategis bisnisnya di Indonesia, bulan lalu CEO Tiktok Shou Zi Chew menemui langsung sejumlah  menteri Kabinet Indonesia Maju. Selain bertemu Luhut Binsar Pandjaitan, Menko Maritim dan Investasi, Shou juga bertandang ke kantor Zulkifli Hasan, Menteri Perdagangan untuk membahas rencana investasi dan perkembangan bisnis Tiktok di Indonesia.  

Data Statistika mencatat, Indonesia merupakan pasar terbesar kedua Tiktot setelah Amerika Serikat. Jumlah pengguna paltform asal Tiongkok itu sudah menembus angka 113 juta. Sementara hasil survei Cube Asia, perusahaan yang menyediakan insights terkait e-commerce menemukan fakta bahwa laju transaksi melalui Tiktok telah menggerogoti penjualan sejumlah platform e-commerce. 

Berdasarkan survei itu transaksi konsumen Tiktok di Indonesia, Thailand, dan Filipina telah memangkas belanja di Shopee 51 persen, Lazada 45 persen, dan offline 38 persen. Dalam revisi Permendag No. 50 terdapat sejumlah regulasi yang akan diatur ulang. Contohnya tentang predatory pricing yang diduga banyak dilakukan oleh platform e-commerce asing yang juga melakukan praktik cross border. 

"Predatory pricing itu bisa membunuh produk dalam negeri dan UMKM. Dan itu sudah tidak masuk akal. Di mana ada kekuatan ekonomi besar yang bakar uang yang  membunuh UMKM," kata Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki pekan lalu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement