Jumat 07 Jul 2023 15:03 WIB

Pengamat Pajak Prediksi Penerimaan Pajak Natura Mencapai Rp 1,6 Triliun

CITA memprediksi potensi penerimaan dari pajak natura sebesar Rp 1,6 triliun.

Rep: Novita Intan/ Red: Ahmad Fikri Noor
Pegawai membantu wajib pajak dalam pelaporan pajak.
Foto: Republika/Prayogi.
Pegawai membantu wajib pajak dalam pelaporan pajak.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) memprediksi potensi penerimaan negara dari pungutan pajak natura sebesar Rp 1,6 triliun. Prediksi ini menggunakan data nilai natura periode 2015—2019.

Peneliti perpajakan dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan, kebijakan terbaru ini sebenarnya bukan mengejar penerimaan negara, tapi mendesain sistem perpajakan di Indonesia secara berkeadilan. Hal ini sekaligus menutup celah penghindaran pajak yang bisa dilakukan kelompok berpendapatan tinggi.

Baca Juga

“Potensi penerimaan, sayangnya saya tak punya data nilai natura terkini. Tapi tak jauh berbeda dengan estimasi kami yang dulu menggunakan data nilai natura 2015-2019, neto ke penerimaan negara sebesar Rp 1,6 triliun. Itu dengan best scenario,” ujarnya ketika dihubungi Republika, Jumat (7/7/2023).

Fajry menyebut, peraturan menteri keuangan ini merupakan aturan turunan dari ketentuan pajak atas natura yang ada di dalam UU HPP. “Jadi, sudah lama sekali PMK ini ditunggu-tunggu oleh publik,” ucapnya.

Menurutnya salah satu yang ditunggu dari PMK 66/2023 ini yakni natura yang dikecualikan dan batas nilai tertentu yang dikecualikan. Dari jenis natura serta batas nilai yang dikecualikan, pemerintah menjaga komitmennya bahwa memang tujuan dari kebijakan ini adalah kelompok menengah atas. 

“Contohnya, perlengkapan dan peralatan kantor seperti laptop, komputer, pulsa dikecualikan,” ucapnya.

 

Maka itu, Fajry turut mengapresiasi pungutan pajak pengecualian atas natura tahun 2022. Hal ini sesuai dengan harapan masyarakat. 

“Ketentuan ini baru berlaku pada Juli 2023 atau setelah PMK ini keluar. Ini juga sesuai aspirasi masyarakat. Jadi, keluhan masyarakat memang didengarkan,” ucapnya.

Fajry pun menggarisbawahi, kebijakan ini tidak berdampak signifikan ke kelompok bawah dan menengah. 

“Jadi, tidak perlu khawatir dampaknya ke makroekonomi atau konsumsi secara spesifik,” ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement