REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Ekonom PT Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat menyebutkan kondisi pasar keuangan domestik bergerak cukup fluktuatif saat ini untuk memaksimalkan pengelolaan investasi.
Hal tersebut sebagai dampak dari gejolak pasar keuangan global serta kondisi dalam negeri memasuki tahun politik, menjelang pemilihan umum (Pemilu) 2024. Berbagai risiko tentunya menjadi perhatian, mulai dari risiko suku bunga, risiko likuiditas, risiko nilai tukar, dan risiko inflasi.
"Risiko yang perlu diperhatikan bila terjadi perubahan kebijakan fiskal dan moneter yang bisa mempengaruhi industri tertentu," kata Budi dalam keterangan resmi yang diterima di Jakarta, Rabu (14/6/2023).
Ia mengatakan menjaga keseimbangan faktor eksternal dan internal bukanlah hal yang mudah di tengah kondisi pasar keuangan global yang bisa berubah setiap saat, yang pastinya akan berdampak pada pasar keuangan di dalam negeri.
Investor obligasi memperkirakan Bank Sentral Amerika Serikat (AS), The Fed, akan mempertahankan suku bunga acuan sebesar 5,25 persen pada bulan ini, setelah melakukan pengetatan moneter sangat agresif sejak tahun lalu dengan kenaikan suku bunga.
Budi menilai saat ini risiko suku bunga dan inflasi cukup terjaga. Tekanan inflasi sejak awal tahun mengalami penurunan, yang tercermin pada angka inflasi Mei 2023 sebesar 4 persen secara tahunan (year-on-year/yoy), dibandingkan akhir tahun lalu yang sempat naik ke 5,51 persen (yoy).
Sedangkan nilai tukar rupiah, yang menurut kurs tengah Bank Indonesia (BI) pada 5 Juni 2023 sempat tertekan ke level Rp15.078 per dolar AS, perlahan turun ke kisaran Rp14.948 per dolar AS pada 13 Juni 2023.
Pengetatan manajemen risiko sangatlah dibutuhkan dalam kondisi pasar keuangan yang berfluktuasi, terutama risiko pasar. Melihat perkembangan pasar sepanjang tahun ini, Bahana menyarankan untuk memperbesar alokasi aset pada surat berharga daripada saham sejak kuartal pertama tahun ini.
Ia menyebutkan strategi ini terbukti mampu mencatat kinerja positif, tercermin dari indeks Indonesian Bond Pricing Agency (IBPA) surat utang negara (SUN) yang telah mencapai 5,57 persen hingga akhir Mei 2023, dibanding kinerja saham yang tercatat negatif 0,45 persen sudah termasuk dividen.
Mencermati kestabilan rupiah dan bunga acuan BI yang lebih tinggi dari inflasi tahunan, sebetulnya Bank Sentral mempunyai peluang menurunkan bunga. Namun BI kemungkinan lebih leluasa menurunkan bunga setelah penurunan The Fed.
Ruang moneter yang lebih akomodatif dapat dilakukan BI melalui kebijakan makroprudensial seperti penurunan giro wajib minimum.
"Ke depan potensi penguatan saham semakin terbuka, setelah terjadinya rally di pasar obligasi. Imbal hasil yang lebih rendah akan menurunkan risk free rate sehingga meningkatkan valuasi saham," ujarnya.