Ahad 28 May 2023 14:51 WIB

Kalau AS Krisis Utang, Ini Dampaknya untuk Indonesia

Kondisi ini masih jauh berbeda dengan krisis keuangan global di tahun 2008.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Ahmad Fikri Noor
Ilustrasi utang AS. Chief Economist at PT Bank Syariah Indonesia (BSI) Banjaran Surya Indrastomo meyakini kesepakatan untuk menaikkan debt ceiling di Amerika Serikat (AS) akan segera tercapai.
Foto: AP Photo/LM Otero
Ilustrasi utang AS. Chief Economist at PT Bank Syariah Indonesia (BSI) Banjaran Surya Indrastomo meyakini kesepakatan untuk menaikkan debt ceiling di Amerika Serikat (AS) akan segera tercapai.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Chief Economist at PT Bank Syariah Indonesia (BSI) Banjaran Surya Indrastomo meyakini kesepakatan untuk menaikkan debt ceiling di Amerika Serikat (AS) akan segera tercapai. Titik terang dengan kompromi dari kedua belah pihak semakin jelas dengan adanya pemotongan anggaran pemerintah AS di beberapa sektor.

"Pelaku pasar cukup meyakini bahwa AS tidak akan mengalami default," kata Banjaran kepada Republika, Ahad (28/5/2023).

Baca Juga

Banjaran menjelaskan, kekhawatiran investor telah meningkat, yang menyebabkan ketidakpastian keuangan global dalam jangka pendek menjelang 1 Juni 2023 atau tenggat gagal bayar AS. Salah satu tandanya sudah mulai muncul dengan masuknya AS ke negative watch dari lembaga Fitch Ratings yang merupakan rujukan banyak pelaku pasar untuk rating instrumen di pasar keuangan.

Banjaran mengatakan, meskipun ketidakpastian keuangan global akan meningkat, tetapi kondisi ini masih jauh berbeda dengan krisis keuangan global di tahun 2008. Khususnya, karena risiko default AS yang rendah dan aktivitas perekonomian AS yang masih tumbuh positif meskipun melamban.

Potensi dampaknya kepada perekonomian Indonesia adalah kepada pasar keuangan. Dalam jangka pendek, volatilitas di pasar keuangan AS yang masih tinggi berpotensi menyebabkan peralihan aliran dana ke emerging market, termasuk ke Indonesia.

"Kondisi tersebut akan berpotensi meningkatkan nilai tukar rupiah dan kenaikan yield. Kemudian, pasar saham kemungkinan besar akan mengalami penurunan karena tingginya ketidakpastian keuangan global," kata Banjaran.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement