REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Amerika Serikat (AS) terancam mengalami resesi, karena kesalahan penanganan plafon utang atau karena alasan lain. Direktur Lembaga Riset Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS) sekaligus Pengamat Ekonomi Syariah, Yusuf Wibisono meyakini peluang gagal bayar utang AS sangatlah kecil.
"Ya, karena kalau kita melihat sejarah, kasus ini sudah berpuluh kali terjadi dan selalu pada akhirnya kongres AS akan menaikkan batas atas utang AS," ujar Yusuf kepada Republika, Jumat (26/5/2023).
Pemerintah AS, kata Yusuf, umumnya akan resisten untuk memotong belanja, namun juga tidak mampu meningkatkan penerimaan. Sehingga, kongres pada akhirnya dipaksa untuk meningkatkan batas atas utang untuk mencegah gagal bayar utang.
Bahkan, sejak 1960 kongres sudah 78 kali menaikkan batas atas utang AS ini, terakhir pada 2021. Kegagalan membayar utang selain akan menghentikan layanan publik yang penting seperti kesehatan dan program bantuan sosial lainnya, juga akan meruntuhkan peringkat utang AS.
"Sehingga akan membuat suku bunga naik lebih tinggi di masa depan untuk mengkompensasi kenaikan resiko," ujarnya.
Gagal bayar utang AS juga akan berpotensi memperburuk tren dedolarisasi saat ini. Yusuf sangat yakin pada akhirnya kongres akan berkompromi dengan pemerintah AS dan akan menaikkan batas atas utang AS.
"Andaikan pun gagal bayar utang AS ini benar-benar terjadi, dampaknya menurut saya tidak akan terlalu besar dan tidak akan langsung dirasakan Indonesia, meski kita tetap harus waspada," katanya.
Karena, gagal bayar utang AS akan melemahkan pasar AS dan juga pasar global sehingga permintaan untuk ekspor produk-produk Indonesia akan melemah. Gagal bayar utang AS juga akan meningkatkan tekanan kenaikan suku bunga bagi Indonesia, sehingga akan meningkatkan biaya pembuatan utang baru bagi pemerintah Indonesia.