Ahad 21 May 2023 14:36 WIB

Khawatir Produk Indonesia Ditolak Eropa, Dradjad: Harus Cepat Sikapi EUDR

Banyak pihak di Indonesia belum menyadari soal EUDR.

Perkebunan Sawit dituding sebagai penyebab kerusakan hutan. Foto ilustrasi.
Foto: Dok Republika
Perkebunan Sawit dituding sebagai penyebab kerusakan hutan. Foto ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ekonom Senior yang juga Ketua pendiri the Indonesian Forestry Certification Cooperation (IFCC), Dradjad Wibowo, khawatir ekspor selain kertas dan bubur kertas, akan banyak ditolak pembeli Eropa. Pemerintah disarankan untuk segera menyosialisasikan ketentuan regulasi bebas deforestasi (RBD), yang dikenal dengan nama European Union Deforestation Regulation (EUDR).

Swasta Indonesia, menurut Dradjad, banyak yang tidak mempunyai sertifikasi dari hasil audit yang diakui dunia internasional. "Mereka bakal ditolak pembeli, dan biasanya bakal lebih sulit untuk merebut kembali pembelinya. Saya khawatir pengalaman kertas dan bubur kertas pada awal dekade 2010-an terulang kembali, di mana ekspor kita anjlok hampir 25 persen,” kata Dradjad, Ahad (21/5/2023).

Dipaparkannya, selama 30 tahun (1990-2020) seluas 420 juta hektar hutan dunia telah dikonversi menjadi lahan pertanian. Konsumsi produk pertanian dan agroindustri dari negara-negara Uni Eropa menyumbang sekitar 10 persen dari areal deforestasi tersebut. "Pertanian di sini adalah dalam arti luas, jadi termasuk pertanian tanaman pangan, peternakan, perkebunan, hutan tanaman, dan perikanan air tawar,” kata Dradjad.

Wacana tentang EUDR, menurut dia, sebenarnya sudah cukup lama muncul di Uni Eropa. Wacana ini mendapat momentum percepatan ketika dalam bulan Oktober 2020 Parlemen Uni Eropa menggunakan hak prerogatifnya memerintahkan Komisi Eropa menyusun legislasi berupa EUDR. "Pada tanggal 6 Desember 2022 negara-negara anggota Uni Eropa mencapai kesepakatan untuk mengesahkan EUDR tersebut,” jelas Dradjad yang juga anggota Board PEFC (Programme for the Endorsement of Forest Certification) yang berkantor pusat di Jenewa itu.

Butir utama EUDR adalah pihak swasta hanya boleh menjual produk di Uni Eropa apabila supplier produk tersebut (termasuk eksportir Indonesia tentunya) dapat membuktikan bahwa produknya tidak mengandung bahan baku/penolong apapun yang bersumber dari lahan bekas deforestasi setelah 31 Desember 2020.

Pembuktian ini berdasarkan sebuah audit (due dilligence) yang kredibel. Produk yang terkena adalah minyak sawit, kayu, kopi, kakao, kedelai, serta produk-produk turunannya, seperti kertas, furniture, coklat, barang-barang kulit, seperti sepatu dan tas.

"Yang banyak pihak di Indonesia belum menyadari, selain harus bebas deforestasi, seluruh rantai produk tersebut juga harus syarat hak asasi manusia (HAM) dan hak-hak masyarakat adat,” ungkap Ketua Dewan Pakar PAN itu.

Bukti audit ini, menurut Dradjad, nantinya akan diperiksa otoritas yang berwenang dari Uni Eropa untuk memastikan kebenarannya. Jika ternyata tidak benar atau tidak menaati EUDR, mereka didenda sebesar minimal 4 persen dari omset penjualan di Uni Eropa. "Sebagai ketua pendiri IFCC dan anggota Dewan PEFC, saya memang mengikuti perkembangan EUDR sejak awal,” kata Dradjad.

Dijelaskannya, ekspor kertas dan bubur kertas Indonesia meningkat USD 2.2 miliar, atau 40 persen lebih, setelah mendapat sertifikat PEFC dari IFCC. Ini karena, perusahaan-perusahaan raksasa dunia yang tadinya memboikot Indonesia akhirnya kembali membeli produk Indonesia setelah mendapat sertifikat tersebut.

Dradjad meyakini, perusahaan kertas dan bubur kertas penerima sertifikat PEFC tidak akan kesulitan memenuhi EUDR. Apalagi perusahaan auditor yang dipakai IFCC kebanyakan dari Uni Eropa seperti Italia dan Perancis. "Tenggat yang kami terapkan bahkan lebih ketat dari Uni Eropa, yaitu bebas deforestasi sejak 31 Desember 2010,” ungkap ekonom senior INDEF ini.

Hal yang dikhawatikan Dradjad adalah ekspor selain kertas dan bubur kertas. Swasta Indonesia, menurut dia, banyak yang tidak mempunyai hasil audit yang diakui dunia internasional. Mereka bakal ditolak pembeli, dan biasanya bakal lebih sulit untuk merebut kembali pembelinya.

Untuk mengatasi masalah itu, Dradjad menyarankan, meski sudah sangat telat, pemerintah perlu segera menyediakan ekosistem dan mendorong kelembagaan yang membuat pengekspor Indonesia mampu memenuhi syarat EUDR.

Kedua, pemerintah perlu intensif menjelaskan ke Uni Eropa agar Indonesia tidak dimasukkan ke dalam negara berisiko tinggi dalam EUDR. Ada waktu sekitar satu tahun lebih untuk lobby ini. "Indonesia harus bergerak cepat mengatasi masalah EUDR ini,” kata Dradjad.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement