Kamis 25 Apr 2024 16:34 WIB

Airlangga Sebut EUDR Dapat Penolakan dari Kelompok di AS

Perubahan regulasi EUDR juga dinilai menjadi salah satu solusi.

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto.
Foto: Republiika/Febryan A
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan kebijakan anti-deforestasi Uni Eropa atau European Union Deforestation-Free Regulation (EUDR) mendapat penolakan dari kelompok bipartisan di Amerika Serikat (AS).

Sejalan dengan upaya yang dilakukan Indonesia dan Malaysia, dilansir melalui mypalmoilpolicy.com, kelompok bipartisan baik dari Partai Republik dan Demokrat juga telah menyoroti kebijakan EUDR yang dianggap tidak adil bagi para petani yang akan memasuki pasar Eropa.

Baca Juga

“Amerika bipartisan menentang EUDR, jadi EUDR yang diinisiasi oleh Indonesia di kunjungan bersama antara Menko Perekonomian dan PM Malaysia itu terus mendapatkan dukungan dari like-minded countries, beberapa waktu lalu baik Republikan maupun Demokrat juga mempertanyakan EUDR,” ujar Menko Airlangga di Jakarta, Rabu (24/4/2024).

Penundaan implementasi atau perubahan regulasi EUDR juga dinilai menjadi salah satu solusi yang dapat dilakukan untuk saat ini. Pernyataan keberatan terhadap kebijakan EUDR sejalan dengan pandangan Menteri Pertanian Uni Eropa. Selain itu, sebanyak 20 dari 27 menteri juga menyerukan untuk dilakukan penundaan EUDR pada Pertemuan Dewan Agriculture Fisheries Council Configuration (AGRIFISH) yang telah diselenggarakan dalam waktu dekat lalu.

“Jadi like-minded countries terinspirasi apa yang dilakukan Indonesia dan Malaysia,” ungkap Airlangga.

Di samping itu, kebijakan EUDR yang juga telah mendapat sorotan dari New York Times dan Financial Times tersebut dinilai akan memberikan dampak berupa potensi masalah pada rantai pasokan yang berkelanjutan, harga, dan pilihan konsumen, hingga dampak bagi petani-petani negara pengekspor.

Dengan adanya potensi tersebut, sejumlah produsen pangan dan komoditas mengharapkan adanya pendekatan yang lebih terukur.

Lebih lanjut, salah satu asosiasi pertanian di Uni Eropa, Copa Cogeca juga telah menyampaikan saran penundaan implementasi kebijakan EUDR karena tidak memungkinkan untuk dilaksanakan karena waktu penyiapan kerangka kerja yang lebih memadai tidak dapat diselesaikan hingga batas waktu implementasi kebijakan EUDR tersebut.

Selain sorotan dan kritik yang disampaikan AS dan Asosiasi Pertanian Eropa, gelombang kekhawatiran juga diutarakan oleh berbagai negara-negara seperti India dan Brasil serta sejumlah negara lainnya yang menyampaikan perhatian yang sangat serius mengenai tuntutan dari implementasi kebijakan EUDR.

Sebagai rancangan regulasi yang dibentuk UE dengan sasaran untuk mengenakan kewajiban uji tuntas terhadap sejumlah komoditas perkebunan dan kehutanan, EUDR dinilai menjadi salah satu tantangan yang dapat merugikan komoditas perkebunan dan kehutanan di Indonesia, salah satunya kelapa sawit, serta mengecilkan berbagai upaya dan komitmen Indonesia dalam menyelesaikan permasalahan yang menyangkut isu perubahan iklim hingga perlindungan biodiversitas sesuai dengan kesepakatan, perjanjian, dan konvensi multilateral.

Merespons kondisi tersebut, Indonesia menjadi negara yang terdepan dalam menyerukan kekhawatiran yang serius dan ketidaksetujuan kepada UE atas tindakan diskriminasi terhadap kelapa sawit.

Selain itu, Indonesia bersama dengan Malaysia, dan Uni Eropa juga telah sepakat untuk membentuk Gugus Tugas Ad Hoc (Ad Hoc Joint Task Force on EUDR) guna mengatasi berbagai hal terkait dengan pelaksanaan EUDR yang dihadapi Indonesia dan Malaysia.

Gugus tugas tersebut juga dibentuk untuk mengidentifikasi solusi dan penyelesaian yang terbaik terkait implementasi EUDR.

“Implementasi EUDR jelas akan melukai dan merugikan komoditas perkebunan dan kehutanan yang begitu penting buat kami seperti kakao, kopi, karet, produk kayu dan minyak sawit,” kata Airlangga.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement