REPUBLIKA.CO.ID, Matahari sudah condong ke Barat ketika Pak Ashabul menyiapkan kapalnya, di sebuah dermaga kecil di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Palka sudah bersih, mesin sudah terpasang, solar sudah terisi penuh, lelaki paruh baya itu pun melepaskan tali sandar di dermaga. Tuas mesin ditarik, mesin kapal mulai menderum lembut. Sesaat kemudian, dengan perlahan, kapal kayu sepanjang 13 meter itu mulai melaju.
Angin laut cukup kencang siang itu, tapi Pak Ashabul harus bergegas. Setelah mengeratkan kain sarungnya, ia menarik tuas gas penuh-penuh, dan membawa kapal kayunya menuju dermaga utama Pulau Pramuka. “Hari itu saya mendapat giliran tugas menjemput dan mengantarkan anak-anak sekolah dari Pulau Pramuka ke Pulau Panggang,” kata lelaki paruh baya itu.
Di Pulau Panggang tak ada sekolah tingkat lanjutan atas. Untuk bersekolah, para pelajar harus menyeberang ke Pulau Pramuka. Di salah satu pulau terbesar dan terpadat di Kepulauan Seribu itu, sejak 1 Januari 1981 Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta telah membangun sebuah SMA Negeri untuk mereka: SMA Negeri 69 Jakarta.
Ada 100 siswa dari Pulau Panggang yang tinggal di asrama SMA 69 di Pulau Pramuka. Setiap Jumat siang, Pak Ashabul menjemput mereka untuk pulang ke Pulau Panggang. Sementara pada Ahad Siang, lelaki itu pun siap mengantarkan mereka kembali ke Pulau Pramuka. “Supaya besok mereka bisa sekolah lagi,” ujarnya.
Para pelajar tersenyum riang saat kapal Pak Ashabul mulai tampak dan kemudian bersandar di dermaga. Sambil berebut naik ke kapal kecil itu untuk memilih posisi paling nyaman, mereka menyapa lelaki paruh baya itu dengan akrab. Mereka senang dijemput sang nelayan tua. “Soalnya, Pak Ashabul tak pernah meminta bayaran. Gratis!,” kata Putri, siswa Kelas XI SMA Negeri 69 Jakarta.
Pak Ashabul memang tak pernah menarik ongkos dari para pelajar yang diseberangkannya. Ia merasa, mata pencahariannya sebagai nelayan sudah cukup untuk menghidupi diri dan keluarganya sehari-hari. Apalagi dia hanya tinggal berdua dengan isterinya, sementara tiga anaknya sudah mandiri. “Selain saya niatkan sebagai ibadah, saya berharap anak-anak itu juga bisa meniru untuk membantu orang lain,” ujarnya.
Lelaki paruh baya itu juga tidak keberatan untuk menggratiskan ongkos penyeberangan bagi para siswa, karena kini tidak lagi merasa kesulitan apabila bahan bakar solar untuk mesin kapalnya habis. Menurut Pak Ashabul, sejak Pertamina mengoperasikan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Apung untuk kapal-kapal yang melintas di utara Jakarta, ia dan banyak nelayan lainnya di Kepulauan Seribu merasa sangat terbantu karena BBM untuk kapal mereka menjadi lebih mudah didapatkan.
SPBU Apung dioperasikan untuk memasok kebutuhan BBM bersubsidi jenis solar bagi para nelayan termasuk di Perairan Pulau Panggang dan Pulau Pramuka. Pak Ashabul adalah salah satu nelayan yang tercukupi kebutuhannya dengan kehadiran SPBU Apung itu. “Alhamdulillah, saya jadi nggak repot nyari solar, dan bisa membantu anak-anak itu,” ujarnya sambil tersenyum.
Di SPBU Apung ini, Pak Ashabul dan kawan-kawan nelayannya bisa dilayani untuk mendapatkan solar bersubsidi. Namun tentu ada beberapa hal yang disyaratkan untuk mendapatkan subsidi ini, yaitu hanya berlaku untuk kapal nelayan yang memiliki volume di bawah 25 Gross Tonnage.
Pak Ashabul awalnya kurang memahami bagaimana cara ia bisa mendapatkan solar bersubsidi untuk kapalnya, namun kelurahan dan Suku Dinas Ketahanan Pangan Kelautan dan Perikanan Kepulauan Seribu mengeluarkan surat rekomendasi untuknya. Sejak saat itu, langkah Pak Ashabul semakin ringan dan membuatnya semakin termotivasi untuk melaut.
Keberadaan SPBU Apung merupakan salah satu usaha dari PT Pertamina (Persero) untuk memberikan kemudahan bagi para nelayan memperoleh BBM solar. Sampai saat ini, sebenarnya Pertamina telah mengoperasikan 387 SPBU khusus nelayan, namun dengan kebutuhan solar bagi para nelayan di tahun ini yang mencapai 3,4 juta kilo liter, maka Pertamina akan menambah 30 SPBU yang akan dialokasikan di beberapa pulau di Indonesia.
Dengan semua usaha dan dukungan yang dilakukan Pertamina untuk para nelayan, sudah tentu membuat senyum Pak Ashabul kian merekah. “Saya kini semakin tenang melaut karena yakin solarnya selalu tersedia, mudah didapatkan, dan harganya terjangkau,” kata Pak Ashabul sambil menutup ceritanya.