REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Jendral Aplikasi dan Informatika (Ditjen Aptika) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Semuel Abrijani Pangerapan mengingatkan masyarakat agar bisa jeli menghindari penipuan QRIS. Imbauan itu disampaikan Semuel menanggapi temuan kasus penipuan QRIS di beberapa masjid di Jakarta pada beberapa waktu lalu.
"Masyarakat harus lihat ini kemana dulu nih (rekening penerimanya). Jangan sampai salah. Penipuan sekarang banyak lagi. Kadang orang mau bersedekah di Masjid sudah main scan aja tapi nggak dibaca lagi tujuannya. Jadi itu harus diperhatikan," kata Semuel di Jakarta, Kamis (13/4/2023).
Menurut Semuel, terjadinya kasus penipuan QRIS itu memang harus diwaspadai oleh orang yang akan melakukan transaksi. Hal itu dikarenakan QRIS bisa dimiliki oleh setiap orang yang mendaftar ke penyedia layanan, oleh karenanya dibutuhkan kewaspadaan yang tinggi untuk masyarakat agar tidak mengirim uangnya ke rekening yang salah.
Kemenkominfo pun memastikan agar kejadian penipuan serupa tidak terulang atau diminimalisir kasusnya, pihaknya menyiapkan dukungan berupa sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat awam.
"Kita lakukan kerja sama dengan BI berupa sosialisasi (untuk masyarakat)," ujar Semmy.
Sebelumnya, kasus penipuan QRIS pertama kali terungkap setelah polisi mendapatkan laporan dari warga pada tanggal 9 April 2023 di Masjid Nurul Iman Blok M Square, Jakarta Selatan. Pelapor yang merupakan pengurus masjid mengaku menemukan stiker QRIS yang mencurigakan di tiang pintu masuk masjid.
Pelapor dan saksi yang merupakan marbot masjid kemudian menelusuri seputar masjid dan mendapati 24 stiker QRIS lagi tertempel di wilayah sekitar masjid. Tidak lama setelahnya Kepolisian Resor Metro Jakarta Selatan langsung menangani laporan tersebut dan menangkap tersangka berinisial MIML (39).
Diketahui MIML telah melancarkan penipuan QRIS tersebut di 38 titik termasuk di masjid-masjid besar seperti di Masjid Istiqlal Jakarta Pusat dan Masjid Al-Azhar Jakarta Selatan. Atas perbuatannya MIML dijerat dengan Pasal 28 ayat (1) UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dengan hukuman penjara 6 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar.