Kamis 16 Mar 2023 14:26 WIB

CIPS: Pemerintah Wajib Evaluasi Program Pupuk Bersubsidi

Program pupuk bersubsidi belum mampu meningkatkan produksi komoditas pangan.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Friska Yolandha
Petani menebar pupuk urea dan NPK untuk tanaman padi berusia sepuluh hari di Trirenggo, Bantul, Yogyakarta, Rabu (11/1/2023). Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai pemerintah perlu mengevaluasi efektivitas program pupuk bersubsidi lantaran belum mampu meningkatkan produksi komoditas pangan pokok, seperti beras.
Foto:

Meski demikian, adopsi Kartu Tani oleh petani masih jauh dari target. Pada 2020, jumlah Kartu Tani tercetak mencapai 9,30 juta kartu (66,91 persen dari total 13,90 juta petani calon penerima di e-RDKK), Kartu Tani yang sudah didistribusikan mencapai 6,20 juta kartu (44,60 persen calon penerima). Sedangkan yang sudah digunakan petani baru mencapai 1,20 juta kartu (8,63 persen), berdasarkan penelitian CIPS.

“Kebijakan input pertanian, terutama pupuk, perlu menargetkan reformasi secara fundamental. Perlu diingat bahwa pupuk bersubsidi adalah instrumen untuk mendorong investasi petani pada sarana pertanian untuk meningkatkan produktivitas,” tutur Faisol.

Untuk jangka panjang, pemerintah perlu merancang mekanisme evaluasi pemberian subsidi, menetapkan indikator “kelulusan” seorang petani atau suatu wilayah penerima subsidi, serta menargetkan deadline pencabutan subsidi.  

Namun, kata dia, mekanisme evaluasi ini harus didukung data pertanian yang akurat yang selalu diperbarui untuk memonitor pendapatan dan harga-harga di tingkat petani.

"Tidak kalah penting, kebijakan di sisi suplai turut diperlukan untuk meningkatkan kompetisi antar produsen pupuk dan memastikan harga pupuk yang terjangkau berdasarkan mekanisme pasar," ujarnya.

Terkait kelangkaan, konflik Rusia-Ukraina turut mempengaruhi. Sebagai penghasil gas alam dan potash, Rusia juga merupakan produsen pupuk yang cukup besar. Konflik antara keduanya, terutama setelah sanksi yang diberikan oleh Amerika Serikat ke Rusia, akan mengakibatkan terganggunya suplai bahan makanan dan energi.

 

Sebelum perang pecah antara kedua negara, ketahanan pangan global pun sudah dihadapkan pada berbagai tantangan, seperti pandemi Covid-19 dan perubahan iklim, yang menyebabkan penurunan jumlah produksi dan ketidakpastian musim tanam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement