Selasa 14 Mar 2023 21:34 WIB

Saham Global Jatuh Akibat Krisis Perbankan di AS

Pasar obligasi pemerintah mengalami reli terbesar selama satu dekade.

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Friska Yolandha
 Logo SVB ditampilkan pada smartphone di luar cabang bank HSBC di London, Inggris,  Senin (13/3/2023). Perusahaan jasa keuangan HSBC Holdings telah mengumumkan telah membeli SVB (Silicon Valley Bank) seharga satu Pound Inggris (£1). Kesepakatan itu melindungi aset deposan dan mencegah operasi bank AS di Inggris dari keruntuhan.
Foto: EPA-EFE/ANDY RAIN
Logo SVB ditampilkan pada smartphone di luar cabang bank HSBC di London, Inggris, Senin (13/3/2023). Perusahaan jasa keuangan HSBC Holdings telah mengumumkan telah membeli SVB (Silicon Valley Bank) seharga satu Pound Inggris (£1). Kesepakatan itu melindungi aset deposan dan mencegah operasi bank AS di Inggris dari keruntuhan.

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Saham global turun pada Selasa (14/3/2023). Penurunan itu dikarenakan, krisis perbankan di Amerika Serikat (AS) mendorong investor menurunkan ekspektasi mereka untuk kenaikan suku bunga. 

Baru-baru ini atau seminggu lalu, investor baru saja pulih dari asumsi suku bunga di seluruh dunia cenderung naik lebih tinggi dan bertahan lebih lama dari perkiraan sebelumnya. Hanya saja, dalam waktu kurang dari sepekan, tiga bank AS telah runtuh. 

Baca Juga

Kegagalan pemberi pinjaman sektor teknologi Silicon Valley Bank (SVB) telah mengguncang kepercayaan investor dan memicu serbuan ke aset yang lebih aman seperti obligasi dan emas. Saham perbankan di seluruh dunia pun telah kehilangan nilai ratusan miliar dolar dalam hitungan hari.

Sementara pasar obligasi pemerintah telah mengalami salah satu reli terbesarnya dalam beberapa dekade. Indeks MSCI All-World juga turun 0,5 persen hari ini, sebagian besar disebabkan oleh penurunan tajam di seluruh pasar ekuitas Asia, sementara saham Eropa memasuki penurunan hari ketiga, kali ini turun 0,1 persen.

Imbal hasil Treasury AS jangka pendek naik 14 basis poin menjadi sekitar 4,17 persen, tetapi mengingat Senin mereka membukukan penurunan satu hari terbesar sejak 1987, maka kenaikan pada Selasa masih meninggalkan imbal hasil pada level terendah dalam enam bulan. Banyak yang menyamakannya dengan krisis keuangan 2008, ketika indikator tekanan pasar keuangan melonjak dan ekuitas runtuh.

Hanya saja, Kepala Ahli Strategi Mata Uang Societe Generale Kit Juckes mengatakan, situasi sekarang lebih mirip dengan krisis tabungan dan pinjaman AS pada 1980-an. Saat itu ratusan bank kecil gulung tikar ketika Federal Reserve mendongkrak suku bunga guna mengendalikan inflasi. 

Seperti diketahui, SVB merupakan bank AS terbesar ke-16 pada akhir tahun lalu, sehingga dianggap sebagai pemberi pinjaman terbesar yang gagal sejak 2008. Spesifik keruntuhan tiba-tiba bank yang berfokus pada teknologi itu tidak terduga, tetapi kenaikan tajam suku bunga The Fed pada tahun lalu turut memperketat kondisi.

"Saya tidak berpikir ini masalah perbankan global yang sistemik. Jika ini sebuah masalah, masalah bank yang lebih kecil tetapi kurang diatur yang telah tumbuh sangat cepat karena kurang diatur dalam lingkungan yang stabil yang telah berubah. jahat," ujar Juckes seperti dilansir Reuters, Selasa (14/3/2023).

Menurutnya, krisis perbankan ini bagian dari resesi ringan. "Padahal kita khawatir saat itu. Kita mengalami penurunan suku bunga yang sangat besar setelah kenaikan suku bunga sangat besar. SVB tampaknya sangat tidak mungkin memiliki implikasi sistemik yang sangat besar, terutama ketika otoritas AS datang begitu cepat dalam menanganinya," jelas dia. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement