Senin 13 Mar 2023 18:06 WIB

Pupuk Mahal, Kementan Bakal Latih Petani Gunakan Pupuk Organik

Pelatihan tersebut merespons masalah pupuk kimia yang saat ini kian mahal.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Ahmad Fikri Noor
Distribusi pupuk (ilustrasi). Kementerian Pertanian kembali membuka pelatihan bagi petani dan penyuluh dalam menggunakan pupuk organik dan kimia secara berimbang. Pelatihan tersebut merespons masalah pupuk kimia yang saat ini kian mahal hingga menyulitkan para petani.
Foto: Dok. Pupuk Indonesia
Distribusi pupuk (ilustrasi). Kementerian Pertanian kembali membuka pelatihan bagi petani dan penyuluh dalam menggunakan pupuk organik dan kimia secara berimbang. Pelatihan tersebut merespons masalah pupuk kimia yang saat ini kian mahal hingga menyulitkan para petani.

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Kementerian Pertanian kembali membuka pelatihan bagi petani dan penyuluh dalam menggunakan pupuk organik dan kimia secara berimbang. Pelatihan tersebut merespons masalah pupuk kimia yang saat ini kian mahal hingga menyulitkan para petani.

Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian, Kementan, Dedi Nursyamsi menjelaskan, akibat dari dampak Covid-19, perubahan iklim, hingga konflik Rusia-Ukraina, harga pangan dunia melonjak. Namun nyatanya, dampak juga dirasakan terhadap kenaikan harga sarana dan prasana produksi pertanian, termasuk pupuk.

Baca Juga

"Harga pupuk urea meningkat dua kali lipat, bahkan pupuk NPK, SP36 dan ZA itu naik tiga kali lipat. Oleh karena itu, Kementan kembali membuka Pelatihan Sejuta Petani dan Penyuluh dengan tema gerakan petani proorganik," kata Dedi dalam konferensi pers di Bogor, Senin (13/3/2023).

Ia menjelaskan, kuota peserta Pelatihan Sejuta Petani dan Penyuluh kali ini disiapkan sebanyak 1,8 juta orang secara hybrid dari Balai Prajurit M Jusuf, Makassar Sulawesi Selatan dan akan dibuka pada Kamis (16/3/2023).

Lebih lanjut, Dedi menjelaskan, pupuk setidaknya berkontribusi sekitar 15 persen hingga 75 persen terhadap produktivitas. Namun akibat harga yang mahal, petani menghadapi masalah untuk bisa menjaga produktivitasnya akibat pupuk yang mahal.

Selain mahal, Dedi mengakui produksi pupuk kimia di Indonesia kurang. Dilihat dari kebutuhan pupuk subsisi yang diajukan petani saja, rata-rata kebutuhan per tahun mencapai 24 juta ton. Sementara pemerintah, hanya mampu menyediakan 9 juta ton pupuk bersubsidi.

Pupuk Indonesia sebagai produsen pupuk terbesar, hanya mampu memproduksi pupuk kimia setahun sebanyak 14 juta ton, dengan pangsa pasar 12 juta ton di dalam negeri dan dua juta ton untuk ekspor.

"Solusinya, kita mesti memaksimalkan pemanfaatan pupuk organik dan pupuk hayati di mana petani bisa membuat sendiri. Kita maksimalkan juga pestisida nabati dari bahan-bahan alami," katanya.

Namun, Dedi tak menampik, dampak terhadap peningkatan produksi dari penggunaan pupuk organik membutuhkan waktu lama. Oleh karena itu, petani juga tak bisa dilepaskan dari penggunaan pupuk kimia, baik yang bersubsidi maupun komersial namun harus digunakan secara berimbang.

"Efektivitas ke pertumbuhan tanaman jangka pendek, pupuk kimia lebih cepat. Kalau organik pelan tapi pasti dan ramah lingkungan. Artinya, dua-duanya perlu. Itulah yang disebut gerakan petani proorganik. Ini solusi di saat harga pupuk dan pestisida kimia mahal, dan ini harus disampaikan ke petani," kata Dedi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement