Senin 06 Mar 2023 21:44 WIB

Nilai Mata Uangnya Anjlok, Lebanon Pakai Dolar AS Sebagai Alat Tukar

Pound Lebanon telah kehilangan nilainya 95 persen sejak akhir 2019.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Friska Yolandha
Barang dihargai dalam dolar A.S. di supermarket di Beirut, Rabu, 1 Maret 2023. Lebanon mulai memberi harga barang di supermarket dalam dolar A.S. pada hari Rabu karena nilai pound Lebanon mencapai posisi terendah baru.
Foto: AP Photo/Hussein Malla
Barang dihargai dalam dolar A.S. di supermarket di Beirut, Rabu, 1 Maret 2023. Lebanon mulai memberi harga barang di supermarket dalam dolar A.S. pada hari Rabu karena nilai pound Lebanon mencapai posisi terendah baru.

REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Kondisi perekonomian Lebanon, khususnya nilai mata uang Poundnya terus ambruk. Hal ini membuat keadaan ekonomi negara yang pernah disebut Parisnya timur tengah ini kini harus mulai mengadopsi penggunaan dolar AS dalam transaksi ekonomi sehari-hari.

Salah satu warga Beirut, Moheidein Bazazo membuka minimarketnya di ibukota pada tahun 1986, selama beberapa pertempuran paling sengit dalam perang saudara di Lebanon. Dia justru tidak menyangka tokonya yang berada di pasar itu akan berkembang.

Baca Juga

Beberapa tahun lalu, dia memiliki rak yang penuh dengan makanan dan membutuhkan 12 karyawan untuk membantunya mengelola bisnis yang sedang ramai. Namun kini hari-hari itu sudah berakhir. Bazazo sekarang lebih banyak bekerja sendiri, seringkali dalam kegelapan untuk mengurangi tagihan listriknya.

Pelanggan setianya berjuang untuk mengirit demi memenuhi kebutuhan. Karena mereka membeli lebih sedikit, dia juga, meninggalkan beberapa rak barang dagangan dan lemari es dalam keadaan kosong.

Dengan ekonomi Lebanon yang berantakan dan mata uangnya jatuh bebas, Bazazo menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mencoba mengikuti fluktuasi nilai tukar. Bisnis kecil seperti dia semakin bersandar pada salah satu aset paling andal di dunia, yaitu dolar AS. 

Kini dolar AS di Lebanon digunakan sebagai cara untuk mengatasi krisis keuangan terburuk dalam sejarah negara Arab yang berhaluan liberal ini. “Saya pernah menjalani kehidupan yang nyaman, dan sekarang saya hanya memiliki sekitar 100 dolar AS untuk menutupi pengeluaran toko pada akhir bulan," kata Bazazo, sambil menghitung angka-angka penjualannya di dalam kalkulator. 

“Kadang-kadang rasanya seperti Anda bekerja tanpa dibayar," katanya mengeluh.

photo
Moheidein Bazazo mengubah label harga dari pound Lebanon menjadi dolar A.S. di sebuah toko di Beirut, Lebanon, Rabu, 1 Maret 2023. Lebanon mulai menetapkan harga barang konsumen di supermarket dalam dolar A.S. pada hari Rabu karena nilai pound Lebanon mencapai posisi terendah baru. - (AP Photo/Hassan Ammar)

Pound Lebanon telah kehilangan nilainya 95 persen sejak akhir 2019. Kini, sebagian besar restoran dan toko tak lagi menggunakan poud tapi meminta pelanggannya membayar menggunakan dolar AS.

Pemerintah Lebanon baru-baru ini mulai mengizinkan toko kelontong seperti Bazazo untuk mulai melakukan hal yang sama.

Sementara 'dolarisasi' ini bertujuan untuk meredakan inflasi dan menstabilkan ekonomi, hal itu juga mengancam mereka yang hidup pas-pasan justru mendorong ke lebih banyak kemiskinan dan memperdalam krisis. Karena, hanya sedikit orang di Lebanon yang memiliki akses ke dolar untuk membayar makanan dan kebutuhan pokok lainnya dengan kondisi harga saat ini.

Sementara, aksi korupsi telah menjadi endemik di pemerintahan, berarti para pemimpin politik dan keuangan menolak alternatif dolarisasi, karena reformasi jangka panjang pada bank dan lembaga pemerintah yang akan mengakhiri pengeluaran yang sia-sia dan memulai ekonomi kembali bergerak. Sementara negara-negara lain seperti Zimbabwe dan Ekuador telah beralih ke dolar AS untuk melawan hiperinflasi dan kesengsaraan ekonomi lainnya, dengan keberhasilan yang beragam.

Kondisi yang sama juga sedang dialami Pakistan dan Mesir. Kedua negara ini juga berjuang dengan jatuhnya mata uang negara mereka. Akan tetapi krisis ekonomi mereka sebagian besar terkait dengan peristiwa luar negeri, seperti perang Rusia di Ukraina, yang telah menyebabkan harga makanan dan energi melonjak.

 

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement