REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dugaan mafia beras tengah menjadi sorotan usai Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso mengungkapkan ada mafia yang sengaja memanfaatkan situasi untuk mengatrol harga beras. Dugaan menyasar kepada para pedagang besar. Tapi, apa benar mafia beras itu pedagang? Atau ada oknum di tubuh Bulog?
Bukan kali ini saja dugaan mafia beras diangkat ke publik oleh Bulog. Terutama saat ada persoalan kenaikan harga beras. Tapi tak jelas ujungnya, dugaan mafia beras selalu timbul tenggelam. Harga beras lantas turun dengan sendirinya ketika panen tiba.
Pengamat Pangan sekaligus Dosen Sekolah Vokasi IPB University, Prima Gandhi, menilai, ketimbang selalu menyalahkan mafia, lebih baik Bulog dan pemerintah melakukan langkah persuasif agar pasar perberasan dalam negeri kondusif. "Sekarang begini, kalau menuduh orang, siapa sih yang mau disebut mafia? Itu kan psikologi. Ini lebih butuh pendekata humanis," kata Prima kepada Republika, Sabtu (4/2/2023).
Ia menilai, pendekatan yang dilakukan secara "keras" oleh Bulog malah menimbulkan perlawanan dari pasar yang lebih menguasai beras. Stok Bulog yang selama ini berkisar satu juta ton hingga 1,5 juta ton pun hanya sekitar empat persen dari rata-rata produksi nasional di atas 31 juta ton
"Semisal saya pedagang besar ketika disebut mafia, saya akan melawan dan saya kesal. 'Ya, sudah biarkan saja (masalah beras)' seperti itu," kata Prima menambahkan.
Meski demikian, ia tak menampik kemungkinan pihak-pihak yang sengaja menahan harga tetap tinggi pasti ada. Namun, dalam konteks saat ini pokok persoalan ada pada beras impor Bulog yang dilakukan untuk operasi pasar.
Diketahui, beras impor yang baru saja tiba memiliki kualitas premium dengan kadar air 13,5 persen dan tingkat butir patah hanya lima persen. Namun, dijual oleh Bulog kepada para pedagang maupun distributor dengan harga medium. Itu memberi peluang beras dijual kepada konsumen dengan harga premium yang lebih tinggi.
Prima mengatakan, seharusnya Bulog memiliki kontrol penuh terhadap beras impor itu sendiri. Dilihat dari rantai tata niaga beras di dalamnya ada beras impor. Kalau harganya bermasalah, bisa jadi oknum Bulog sendiri. "Tapi kalau beras lokal, permainan mungkin di pedagang," kata dia.
Lebih lanjut, ia menilai, pemberian hukum bagi mereka yang disebut sebagai mafia juga cukup sulit karena tidak bisa dibuktikan secara riil. Semestinya semua pihak fokus pada tujuan bagaimana pasokan dan harga beras bisa stabil.
Ia menilai, pejabat publik, termasuk Presiden Joko Widodo ada perlunya sesekali mengumpulkan para pedagang besar beras. Termasuk perusahaan besar yang mereka memiliki ladang sawah sendiri. Dengan cara itu, akan lebih mudah bagi pemerintah untuk menjaga stabilitas beras. Ketimbang pendekatan konflik yang membuat saling curiga.
Direktur Utama Perum Bulog, Budi Waseso dalam kesempatan berbeda pun telah mengultimatum seluruh jajaran dan karyawan Bulog di seluruh daerah. Ia menegaskan tak segan-segan untuk memecat bagi mereka yang kedapatan ikut bermain atau bahkan menjadi mafia beras.
Ia pun mengaku banyak karyawan Bulog yang tidak suka terhadapnya atas kebijakan-kebijakan selama menjabat. "Saya tahu permainan-permainan di Bulog. Saya tidak ada ragu-ragu untuk memecat yang bersangkutan. Seperti kasus di Sulawesi Selatan, beras hilang dipinjam, alasan apapun itu salah. Dipidana dan dipecat dulu saja," kata dia.