REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) mendukung penuh langkah pemerintah yang akan membuat bursa komoditi sawit sendiri.
Ketua Umum Apkasindo, Gulat Manurung, mengatakan, sejak era 1990-an perkembangan industri sawit kian pesat di Indonesia. Namun, meski menjadi produsen terbesar sawit di dunia, Indonesia tidak menjadi acuan dunia terhadap perkembangan harga sawit.
"Cukup lama itu terbiarkan dan kita mengekor dengan Malaysia. Jadi bursa berjangka itu suatu hal yang wajib," kata Gulat di Jakarta, Rabu (25/1/2023).
Ia mengaku terkejut begitu mendengar pemerintah ingin membuat bursa komoditi sawit dan ditargetkan dimulai Juni 2023. Namun, menurut Gulat, rencana tersebut kemungkinan bakal mendapat gangguan dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan bisnis sawit.
Keberadaan bursa komoditi sawit Indonesia dinilai Gulat juga akan mempermudah para petani dan pelaku usaha minyak sawit untuk mendapatkan harga riil yang sesungguhnya sesuai situasi pasar.
Selama ini, industri sawit berkiblat pada harga lelang di KPBN Dumai yang itu juga mengacu kepada bursa Malaysia maupun Rotterdam. Sementara itu, harga acuan yang dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan pun dalam jangka waktu dua pekan sekali sehingga terllau lama.
Gulat mengaku acuan-acuan harga tersebut tidak memberikan kepastian kepada petani sebagai produsen sawit.
"Secara nasional itu penting, karena itu memastikan harga sesungguhnya. Selama ini hanya harga Malaysia, Rotterdam. Harga nasional kita mana dong? Bursa berjangka adalah harga yang ditunggu oleh petani sawit Indonesia," katanya.
Adapun sejauh ini, Gulat menuturkan, rata-rata harga tandan buah segar (TBS) sawit belum membahagiakan. Dari harga pokok produksi sekitar Rp 2.250 per kg, harga yang diterima petani sawit swadaya hanya Rp 1.800 per kg-Rp 2.000 per kg. Adapun untuk petani yang bermitra dihargai Rp 2.250 per kg-Rp 2.500 per kg.