REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Menteri keuangan Korea Selatan pada Kamis (12/1/2023) memperingatkan kesulitan ekonomi tahun ini. Sulitnya ekonomi tahun karena apa yang disebut fenomena tiga tingkat tinggi, termasuk inflasi tinggi, suku bunga tinggi, dan utang tinggi.
"Tahun ini kemungkinan akan sangat menantang bagi seluruh dunia dan juga untuk Korea (Selatan) karena efek pengetatan moneter di negara-negara ekonomi utama menyebar di tengah berlanjutnya inflasi tinggi, suku bunga tinggi, dan utang tinggi," ujar Menteri Ekonomi dan Keuangan Choo Kyung-ho pada konferensi pers dengan media asing di Seoul.
Choo, yang merangkap wakil perdana menteri urusan ekonomi, mengatakan pemerintah akan memfokuskan upaya kebijakan untuk mengatasi krisis. Bank sentral negara itu telah memperketat sikap kebijakan moneternya sejak Agustus 2021, menaikkan suku bunga acuannya dari rekor terendah 0,50 persen menjadi 3,25 persen.
Kenaikan suku bunga yang cepat menambah beban pembayaran utang pada rumah tangga yang sudah berjuang dengan inflasi tinggi dan utang besar.
Utang, yang dimiliki rumah tangga ke bank-bank penerima simpanan, menyusut 2,6 triliun won (2,1 miliar dolar AS) pada 2022 di tengah suku bunga pinjaman yang lebih tinggi, tetapi utang melonjak 100,6 triliun won (80,9 miliar dolar AS) pada 2020 dan 71,8 triliun won (57,7 miliar dolar AS) pada 2021 masing-masing tetap mendekati level rekor tertinggi.
Pemerintah melonggarkan peraturan pinjaman KPR untuk menopang pasar perumahan yang goyah dengan memungkinkan calon pembeli membeli rumah baru dengan uang pinjaman.
Choo mengatakan, peraturan peminjaman sangat berlebihan untuk membatasi transaksi perumahan normal selama beberapa tahun terakhir, menyebut deregulasi sebagai "normalisasi". Menkeu menambahkan, pemerintah akan tetap memberlakukan aturan untuk mencegah pinjaman KPR dan kredit yang berlebihan.