REPUBLIKA.CO.ID, MAKASSAR -- Guru Besar Universitas Hasanuddin, Rusnandi Pandjung, menilai harga beras di Indonesia terbilang rendah karena berkisar di Rp 10 ribu per kilogram (kg). Harga tersebut justru menjadi harga terendah nomor dua di Asean jika dibandingkan dengan harga beras di sejumlah negara lainya.
Rusnandi mengatakan, sebagai negara dengan beras sebagai makanan utama penduduknya, Indonesia tidak boleh tergantung pada impor beras. Karena volume perdagangan beras dunia sangat kecil jika dibandingkan kebutuhan komsumsi Indonesia. Sedikit saja gejolak terjadi secara gelobal, akan menyulitkan impor beras oleh Indonesia.
"Karena itu, tingkat produksi beras Indonesia harus dipertahankan secara berkelanjutan sesuai tingkat konsumsi. Pemerintah tidak hanya berpihak pada konsumen, tetapi juga pada produsen (petani)," ujarnya, dalam siaran pers.
Sebelumnya laporan Bank Dunia Indonesia Economic Prospect (IEP) periode Desember 2022, harga beras di Indonesia 28 persen lebih tinggi dari harga Filipina. Bahkan jika dibandingkan dengan Vietnam, Kamboja, Myanmar, dan Thailand harganya dua kali lipat lebih mahal.
Menurut Bank Dunia, mahalnya harga beras disebabkan karena adanya kebijakan pemerintah untuk mendukung harga pasar bagi produsen di sektor pertanian yang meliputi pembatasan perdagangan seperti tarif impor, monopoli impor BUMN untuk komoditas utama serta kebijakan harga pembelian minimum di tingkat petani.
Padahal, menurut Prof Rusnandi, kebijakan yang tepat bagi sebuah negara adalah tidak membiarkan impor beras dibiarkan secara terbuka karena hal itu akan membuat harga jatuh dan menyurutkan motivasi petani dalam mengelola lahannya.
"Sejauh ini kebijakan pemerintah menyoal harga beras saya kira masih menguntungkan petani," katanya.
Terpisah, Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI), Riyanto juga menyoroti pernyataan Bank Dunia (World Bank). Menurutnya, pernyataan itu kurang tepat dan tidak mencerminkan semangat petani yang setiap hari melakukan produksi. Baginya, kebijakan impor disaat harga beras naik bukanlah solusi dan hanya melukai perasaan petani.
"Jangan begitu harga beras naik, lantas hanya memberi solusi impor. Kita jangan membiarkan impor beras terbuka luas yang membuat harga jatuh lalu menyebabkan petani malas bertani. Ini keliru menurut saya," ujarnya.
Riyanto mengatakan, harga beras di Indonesia masih berada di titik normal dan masih dalam jangkauan daya beli masyarakat. Adapun faktor kenaikan yang selama ini terjadi disebabkan beberapa faktor. Di antaranya masalah distribusi dan musiman saja. "Tidak bisa selesai hanya dengan impor. Jadi tidak benar harga beras kita paling mahal," katanya.
Sebagaimana diketahui, Indonesia membuka keran impor kedelai sejak 1998, berkaitan dengan kesepakatan yang tertuang dalam letter of intent IMF. Hal itu merupakan bagian dari paket penyehatan ekonomi nasional yang terpuruk akibat krisis ekonomi. Lembaga ini menuntut Indonesia membuka akses pada perdagangan bebas.
"Nah, kita jangan mengulangi rekomendasi yang sama untuk beras versi World Bank. Utamanya membuka keran impor beras dan pangan lainnya secara luas. Kemandirian panganlah yang harus kita perkuat dengan peningkatan produksi dan memberi subsidi yang layak bagi petani serta proteksi terhadap komoditi pertanian agar petani punya insentif untuk berproduksi," jelasnya.