REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menyebut ketidakpastian global masih akan menjadi tantangan ekonomi dan sektor keuangan pada tahun depan. Adapun berbagai tantangan global seperti perang Rusia-Ukraina yang belum juga mereda, suku bunga acuan, hingga inflasi.
Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan tantangan pertama yang perlu dicermati berada tatanan global.“Berbagai lembaga internasional tetapi memperkirakan ekonomi global tumbuh 2,9 persen sampai dengan 3,2 persen pada tahun ini. Pada 2023 juga ekonomi global diperkirakan enggak jauh beda dengan yang sekarang kisaran 2,8 persen sampai dengan tiga persen, perlambatan ekonomi yang dikombinasikan oleh kenaikan harga dapat memicu risiko terjadinya stagflasi di beberapa negara,” ujarnya saat webinar Kiprah LPS dalam Stabilisasi dan Penguatan Sektor Keuangan, Kamis (6/10/2022).
Tantangan kedua yakni literasi keuangan yang masih rendah di Tanah Air. Berdasarkan survei Otoritas Jasa Keuangan (OJK) 2019, indeks inklusi keuangan nasional berada level 76,19 persen, sementara indeks literasi keuangan berada level 38,03 persen.
"Sebanyak tujuh dari 10 masyarakat Indonesia telah memiliki akses kepada produk dan jasa keuangan, namun hanya empat dari 10 orang yang memahami apa itu produk dan jasa keuangan artinya terdapat gap yang signifikan antara inklusi dengan literasi keuangan nasional," ucapnya.
Tantangan ketiga yaitu digitalisasi. Menurut Purbaya, perkembangan digital meningkat begitu pesat, sehingga memunculkan segmen-segmen di dalam ekonomi dan keuangan dan dapat menimbulkan berbagai kejahatan siber bila literasi keuangan digital tidak dioptimalkan.
Dari sisi lain, sektor perbankan juga diminta untuk memperkuat sistem informasi agar infrastruktur perbankan mumpuni untuk mencegah terjadinya kejahatan siber.
“Kita mengetahui bahwa kian hari risiko cyber security akan meningkat, apalagi masyarakat tidak memiliki literasi tinggi secara digital kasus-kasus seperti scamming, phising, ransomware dan kejahatan-kejahatan keuangan lain melalui cyber,” ucapnya.
Tantangan keempat yakni, pendalaman pasar keuangan di Indonesia yang masih rendah jika dibandingkan dengan dengan negara-negara tetangga. Purbaya merinci, kapitalisasi pasar modal Indonesia pada 2020 masih 46,9 persen terhadap produk domestik bruto (PDB), Filipina sudah berada pada level Thailand 108,7 persen dan Malaysia 129,5 persen.
Selanjutnya rasio finansial sistem deposit Indonesia pada 2021 masih rendah, dalam level 41,2 persen per PDB, sementara Filipina sebesar 77,7 persen, Malaysia 122,6 persen, dan Thailand 135,6 persen.
“Pendalaman pasar keuangan ini perlu terus ditingkatkan supaya peran pasar keuangan sebagai sumber pembiayaan pembangunan semakin tinggi dan tidak tergantung terhadap dana asing dalam pembangunan nasional,” ucapnya.
Sementara itu Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah menambahkan kemampuan bertahan di tengah gelombang krisis, termasuk krisis pandemi ini. Hal ini ditunjukan dengan indikator kinerja bank umum konvensional yang meningkat pada Juni 2022.
Termasuk empat bank terbesar Indonesia pada semester I 2022 yang mampu mencatatkan laba bersih di tengah krisis, di antaranya BRI sebesar Rp 24,79 triliun, Mandiri sebesar Rp 20,21 triliun, BCA sebesar Rp 18,05 triliun, BNI sebesar Rp 8,8 triliun.
"Keberadaan LPS memberikan keyakinan dan kepercayaan masyarakat kepada bank dan sektor keuangan. Sekali lagi saya ingin menegaskan hal ini tidak lepas dari kiprah LPS, peran besar LPS menjaga keyakinan masyarakat terhadap sektor keuangan kita,” ucapnya.