REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah menyatakan, konsolidasi fiskal pada 2023 merupakan keputusan antisipatif dan strategis. Hal ini karena anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2023 lebih aman dari guncangan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, konsolidasi fiskal pada 2023 terhadap defisit dalam Rancangan Undang-Undangan APBN Tahun Anggaran 2023 dipatok 2,84 persen dari produk domestik bruto (PDB) atau kembali ke bawah tiga persen dari PDB sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020.
“Dengan kenaikan suku bunga dan gejolak di sektor keuangan serta nilai tukar, maka defisit yang lebih rendah memberikan potensi keamanan bagi APBN dan perekonomian kita,” ujarnya dalam keterangan tulis, Jumat (29/9/2022).
Pemerintah dan DPR menyepakati defisit anggaran Rp 598,15 triliun atau 2,84 persen dari PDB dalam RUU APBN TA 2023, sehingga terdapat pembiayaan utang Rp 598,15 triliun yang mesti dikelola dengan baik.
“Kami sepakat, harus sangat waspada terhadap pengelolaan defisit dan pembiayaan utang tersebut,” katanya.
APBN pada 2023 akan difokuskan untuk memperbaiki produktivitas demi terus mendukung transformasi ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Pendapatan negara yang diasumsikan sebesar Rp 2.463,02 triliun pada 2023 juga akan terus dimonitor karena gejolak harga komoditas berpotensi terus berlanjut.
“Kalau dilihat dari gejolak harga komoditas yang bisa berimbas terhadap pendapatan negara baik dari sisi pajak, bea keluar, dan pendapatan negara bukan pajak (PNBP), maka kita harus membuat suatu mekanisme untuk mengamankan apabila harga komoditas tidak setinggi yang diasumsikan,” katanya.
Adapun belanja negara yang ditarget Rp 3.061,2 triliun difokuskan meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM), mendukung tahapan pemilu, menopang pembangunan ibu kota negara (IKN), dan menyelesaikan proyek-proyek infrastruktur strategis yang bermanfaat bagi masyarakat dan perekonomian.