REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah tengah menyusun kebijakan baru untuk tata kelola cadangan beras yang tersimpan di Bulog melalui skema dynamic stock. Perum Bulog menilai, skema baru itu diyakini akan mempermudah pengelolaan beras sehingga kerusakan beras dapat dihindari.
Sekretaris Perusahaan Bulog, Awaluddin Iqbal, mengatakan, inti dari pengelolaan beras di Bulog harus memiliki ruang penyaluran beras yang telah disiapkan oleh Bulog. Tanpa ada kepastian pasar, cadangan beras berpotensi mengalami turun mutu hingga kerusakan.
"Dynamic stock ini menjadi bagian dari upaya menjaga keseimbangan hulu dan hilir beras supaya stok menjadi segar dan menghindar kerusakan," kata Awaluddin kepada Republika.co.id, Selasa (6/9/2022).
Seperti diketahui, saat ini Bulog diminta untuk menjaga pasokan cadangan beras pemerintah atau CBP antara 1-1,5 juta ton. Namun, Bulog tak lagi menjadi penyalur beras Rastra sehingga kehilangan pasar seperti dahulu. Pola ini sudah dimulai sejak 2019 lalu.
Awaluddin mengatakan, konsekuensi dari pengadaan beras harus adanya kepastian di sisi hilir. Tanpa kepastian itu, pada akhirnya pemerintah akan merugi. Sebab, cadangan beras yang dikelola Bulog pun harus dibayar oleh pemerintah.
Deputi Bidang Ketersediaan dan Stabilisasi Pangan NFA, I Gusti Ketut Astawa, mengatakan, melalui pola dynamic stock, pemerintah akan mengatur periode pemasukan dan pengeluaran cadangan beras yang dikelola oleh Bulog.
"Ini akan mengurangi pangan yang turun mutu, karena itu akan merugikan APBN kita, sehingga nantinya kita akan menetapkan berapa jumlah cadangan pangan pemerintah," kata Ketut.
Ia mengatakan, cadangan beras idealnya wajib dikeluarkan maksimal empat hingga lima bulan sekali sehingga dapat meminimalisasi potensi kerusakan beras di gudang.
Sementara itu, Pengamat Pertanian dari Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP), Khudori, mengatakan, sistem pengelolaan cadangan beras pemerintah (CPP) saat ini membutuhkan anggaran yang besar namun pemerintah tidak mau membiayai.
Meski Bulog diminta pemerintah menjaga pasokan CBP antara 1-1,5 juta ton, ruang penyaluran beras yang utama hanya mengandalkan operasi pasar untuk stabilisasi harga sepanjang tahun. Jumlahnya tak besar, hanya sekitar 740 ton setahun atau 25,3 persen dari rata-rata penyaluran beras Rastra sebelum 2019 yang mencapai 3 juta ton.
Pemerintah pun tak membiayai pengadaan beras saat ini, melainkan hanya membayar kompensasi yang wajar setelah Bulog menyalurkan CBP. Hal itu berbeda sebelum tahun 2019 lalu di mana pemerintah membayar Rp 3 triliun atau setara 300 ribu ton beras kepada Bulog untuk dijadkan CBP. Di sisi lain, Bulog pun tetap dapat menjaga stok hingga 1,5 juta ton karena adanya penyaluran rutin Rastra.
Khudori pun menilai, Ketika masih ada Rastra, kebijakan perberasan masih terintegrasi hulu, tengah, hilir. Pengadaan di hulu yang besar dan kepastian outlet di hilir.
"Ketika Rastra diubah, terjadi penurunan pengadaan beras domestik dan ketidakpastian pasar Bulog di hulir. Kinerja Bulog menurun, petani dan industri perberasan terdampak," ujar dia.
Melihat banyaknya kelemahan pengelolaan CBP saat ini, ia mengatakan pola dynamic stock yang dirancang pemerintah diharap dapat lebih memastikan pasar bagi Bulog. Di sisi lain, meminimalisasi potensi beras rusak karena tertumpuk di gudang dalam waktu lama.