REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai dampak dari kenaikan harga dan pembatasan akan dirasakan langsung ke daya beli masyarakat yang menurun, sehingga meningkatkan jumlah orang miskin baru.
“Karena konteksnya masyarakat saat ini sudah menghadapi kenaikan harga pangan, dengan inflasi mendekati lima persen,” ujarnya ketika dihubungi Republika pekan lalu.
Menurutnya saat ini juga masyarakat masih belum pulih dari pandemi, terbukti ada 11 juta lebih pekerja yang kehilangan pekerjaan, jam kerja dan gaji dipotong, hingga dirumahkan. Jika ditambah kenaikan harga bbm subsidi dikhawatirkan tekanan ekonomi sekitar 40 persen kelompok rumah tangga terbawah akan semakin berat.
Baca juga: Legislator: Pemerintah Super Tega Jika Naikkan Harga Pertalite
“Belum lagi ada 64 juta UMKM yang bergantung dari bbm subsidi. Pemerintah juga harus memikirkan efek ke UMKM, karena subsidi ini bukan hanya kendaraan pribadi tapi juga dipakai kendaraan operasional usaha kecil dan mikro,” ucapnya.
Adapun saat ini pemerintah menghitung mengenai kemungkinan perubahan harga BBM subsidi Pertalite. Hal ini karena kuota yang ditetapkan APBN 2022 terus menipis.
Bhima menilai pemerintah perlu mematangkan data masyarakat jika ingin melakukan pembatasan pembelian Pertalite. Hal ini tidak bisa dilihat yang berhak memakai subsidi hanya orang miskin, tapi juga pelaku usaha kecil.
“Sebaiknya pemerintah pikir pikir dulu pembatasan maupun mencabut sebagian subsidi. Jika kenaikan harga pertalite dari Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.000 per liter, diperkirakan inflasi tahun ini tembus enam persen sampai 6,5 persen year on year. Dikhawatirkan menjadi inflasi yang tertinggi sejak September 2015,” ucapnya.
Baca juga : Rencana Harga Pertalite Naik, Puan: APBN Prioritaskan Kepentingan Rakyat
Menurutnya kenaikan harga pertalite juga akan meringankan beban APBN, tapi sisi yang lain pemerintah wajib meningkatkan dana belanja sosial sebagai kompensasi kepada orang miskin dan rentan miskin atas naiknya harga bbm subsidi.
“Jadi ini ibarat hemat kantong kanan, tapi keluar dana lebih besar kantong kiri,” ucapnya.
Maka itu, Bhima menyarankan hal lain dibandingkan menaikkan harga BBM jenis subsidi. Pertama, perketat pengawasan solar subsidi khusus kendaraan angkutan di perusahaan pertambangan dan perkebunan skala besar.
“Selama ini tingkat kebocoran solar masih terjadi, dan lebih mudah mengawasi distribusi solar dibandingkan pengawasan BBM khusus kendaraan pribadi karena jumlah angkutan jauh lebih sedikit dibanding mobil pribadi. Penghematan dari pengawasan distribusi solar subsidi cukup membantu penghematan anggaran,” ucapnya.
Kedua, dorong pembangunan jargas untuk menggantikan ketergantungan terhadap impor LPG 3 kilogram. Jaringan gas juga bermanfaat untuk mempersempit celah subsidi ke rumah tangga mampu.
Baca juga : Ekonom UGM Sarankan Pemerintah tak Naikkan Harga Pertalite
Ketiga, menunda proyek infrastruktur dan alokasikan dana untuk menambah alokasi subsidi energi. Keempat, mengalihkan sebagian dana pemulihan ekonomi nasional (PEN) khusus subsidi energi.
“Terakhir, penghematan belanja pegawai, belanja barang dan jasa, termasuk transfer ke daerah masih bisa dilakukan. Pemerintah juga dibekali dengan UU darurat keuangan dimana pergeseran anggaran tanpa persetujuan DPR. Jadi lebih cepat dilakukan perombakan ulang APBN semakin baik,” ucapnya.