REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Disepakatinya perjanjian dagang Indonesia-Uni Emirat Arab Comprehensive Economics Partenrship Agreement (CEPA) mendapat respons positif pelaku usaha dan ekonom. Perjanjian dagang pertama yang memuat kerja sama ekonomi syariah itu menjadi jalan bagi Indonesia memperkuat sumber daya ekonomi Islam sekaligus produk halal di kancah global.
Wakil Ketua Umum III Kamar Dagang dan Industri Indonesia, Shinta Kamdani, mengatakan, pengusaha sangat mendukung pasar kerja sama ekonomi syariah dengan UEA. "Kami rasa UEA sebagai sentra ekonomi di timur tengah sangat strategis sebagai mitra kita ntk menciptakan exposure, branding, dan daya saing yang lebih baik di pasar syariah global," kata Shinta kepada Republika.co.id, Senin (4/7/2022).
Ia menuturkan, di sektor perbankan syariah saja, dalam enam tahun terakhir pertumbuhannya tembus 72 persen dengan pertumbuhan perkembangan aset sekitar 0,5 persen. Itu lebih cepat daripada di perbankan nonsyariah.
Itu belum menghitung potensi pertumbuhan ekonomi syariah dari sektor lain seperti industri makanan minuman, kosmetik, pariwisata, fashion, hingga farmasi dan obatan-obatan halal.
Namun, meski menjadi negara dengan populasi penduduk Muslim terbesar, ekonomi syariah di Indonesia punya pertumbuhan jauh lebih lambat dibandingkan negara lain di kawasan seperti Malaysia bahkan Thailand.
"Sangat disayangkan dan mengkhawatirkan karena kita cenderung menjadi pasar, padahal kita harusnya bisa menjadi market leader dalam ekonomi syariah global," katanya.
Direktur Eksekutif Core Indonesia, Mohammad Faisal, mengatakan, perjanjian dagang itu diharapkan bisa meningkatkan pertumbuhan ekspor yang lebih tinggi dari impor. Jika itu dicapai, Indonesia bisa mencatatkan surplus atas UEA yang saat ini defisit.
Tercatat, total perdagangan Indonesia dan Uni Emirat Arab mencapai 4 miliar dolar AS pada 2021 lalu. Ekspor Indonesia ke UAE sebesar 1,9 miliar dolar AS dan impor dari UEA sebesar 2,1 miliar dolar AS.
Di satu sisi, UEA harus dimanfaatkan sebagai pintu masuk bagi produk Indonesia ke kawasan Timur Tengah dan sekitarnya. "Sejauh mana perjanjian ini bisa menjadi jembatan ekspor produk halal bukan hanya ke UAE tapi ke sekitarnya," ujar dia.
Namun, sebelum melangkah jauh, ia menilai masih dibutuhkan kejelasan lebih soal standardisasi produk halal kedua negara. Sebab, saat ini Indonesia dianggap negara paling ketat dalam menerapkan standar halal demi melindungi produk dalam negeri.
"Kalau kemudian ada kesepakatan standar, apakah itu bisa buat produk halal dari luar masuk lebih mudah? Kalau ekspor kita juga jadi lebih mudah, tidak masalah," katanya.
Sementara itu, Ekonomi Universitas Indonesia, Fithra Faisal, menuturkan, sejak 2016 pihaknya bersama pemerintah membuat pemetaan negara potensial nontradisional. UEA menjadi salah satu negara Timur Tengah yang dianggap punya prospek positif. Selain Arab Saudi, Qatar, dan Bahrain.
Dalam tahap awal penerapannya, ia mengatakan, pemerintah harus mendorong segala potensi produk halal yang bisa diekspor. Keinginan dan kemampuan pelaku usaha produk halal perlu mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah agar perjanjian itu memberikan manfaat bagi Indonesia.
"Ketika nanti sudah berjalan lancar, pasti akan diikuti investasi yang signifikan apalagi kedua negara sering membuat pertemuan informal," katanya.