REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Holding Perkebunan Nusantara PTPN III (Persero) memasang target pendapatan pada kuartal II 2022 senilai Rp 43,46 triliun dengan laba bersih Rp 2309 triliun xan WBUTDA operasional Rp 8,43 triliun. Sekretariat Perusahaan Holding PTPN Bambang Agustian mengatakan untuk mencapai target tersebut, perusahaan sudah memasang strategi dan langkah untuk dilakukan.
"Untuk mencapai target tersebut, PTPN terus melakukan upaya-upaya perbaikan untuk peningkatan produktivitas dan efisiensi melalui program transformasi EBITDA," kata Bambang kepada Republika, Senin (13/6/2022).
Dia menjelaskan pada tahun ini terdapat beberapa tugas besar yang menjadi tantangan dan harus dihadapi PTPN Group. Pertama yakni ketersediaan dan tinggginya harga pupuk. Bambang mengungkapkan untuk mengatasi persoalan ketersediaan dan tingginya harga pupuk yang terjadi harus diantisipasi dengan beberapa.
"Yang harus dilakukan dengan melakukan tender pengadaan pupuk di awal waktu, mengeksplorasi substitusi pupuk, meningkatkan efisiensi pemupukan melalui penerapan teknologi, serta menjalin kerjasama dengan produsen pupuk, misalnya PIHC," ungkap Bambang.
Selain persoalan tersebut, PTPN Group juga harus dihadapkan dengan tantangan izin ekspor CPO. Bambang mengatakan penetapan kebijakan pelarangaan ekspor CPO pada awal 2022 berdampak pada penurunan penjualan CPO dan semakin menipisnya stok tangki timbun PTPN.
"Untuk mengatasi persoalan tersebut, PTPN terus meningkatkan kapasitas hilirisasi dan produk retail," tutur Bambang.
Bambang menambahkan, PTPN jug harus menghadapi fluktuatif harga komoditi. Bambang mengungkapkan harga komoditi yang fluktuatif menuntut pelaku industri untuk beroperasi dengan produktivitas tertinggi dan harga pokok terendah.
Untuk itu, kata dia, PTPN terus fokus menjalankan program Operational Excellence dan Transformation EBITDA. Melalui program tersebut, Bambang memastikan kini PTPN mampu mencapai produktivitas dan cost price setara best practice.
"Dimana prinsip dari bisnis komoditi, pelaku industri yang paling kuat adalah yang mampu memproduksi produk dengan produktivitas tertinggi dan harga yang paling rendah, dimana saat terjadi penurunan harga komoditi, maka akan terjadi seleksi alam, hingga terbentuk equilibrium yang baru," jelas Bambang.